Upaya penyembunyian hasil tindak pidana korupsi makin lama makin canggih. Tidak sebatas di dalam negeri, namun hasil kejahatan tersebut kini disembunyikan melampaui lintas batas wilayah negara.
Dalam beberapa kasus, hasil kejahatan itu disimpan menjauh dari tempat dimana tindak pidana korupsi itu sendiri dilakukan. Tidak lagi berbentuk uang cash, Giro, namun sudah berbentuk kepemilikan tanah.
Bagi negara berkembang tentu terasa sulit, jika harus menembus berbagai permasalahan pengembalian aset yang menyentuh ketentuan-ketentuan hukum di negara-negara besar. Terlebih, jika negara berkembang tidak memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan negara tempat aset curian disimpan.
“Belum lagi adanya kemajuan teknologi, sementara salah satu sifat kejahatan korupsi adalah kemampuan pelakunya memanfaatkan kemajuan itu di bidang perbankan, karena transaksinya bersifat rahasia, cepat, mudah dan tidak memerlukan uang kartal,” ujar pakar pakar hukum pidana UGM Eddy OS Hiariej SH MHum pada seminar “Asset Recovery dan Money Laundering”, Rabu (17/9), dalam rangka Dies Natalis ke-53 Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, di kampus setempat.
Menurutnya, korupsi di Indonesia telah menyebabkan kerugian besar keuangan negara. Bahkan, angka menunjukkan dalam beberapa tahun terakhir indeks prestasi korupsi di Indonesia cukup mencengangkan. Range yang mencapai 9,8 hanya disamai Mexico, menyusul berikutnya Vietnam.
Oleh karena itu lahirnya Undang-Undang Perampasan Aset Negara, kata Eddy, sangat diperlukan. UU itu dinilai mendesak untuk segera dikeluarkan, mengingat ada beberapa faktor lain yang turut mendukungnya.
“Faktor-faktor itu adalah Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Indonesia telah mengatur pula mutual legal assistance dengan UU No 1 tahun 2006 dimana salah satu prinsip dasarnya adalah asas resiprokal. Artinya jika Indonesia menginginkan asetnya yang telah dicuri kembali, maka Indonesia harus memiliki pengaturan yang jelas mengenai pengembalian dan juga menjamin pengembalian aset dari negara lain yang disimpan di Indonesia,” paparnya.
Selain itu, Indonesia telah berperan aktif dalam Stolen Recovery (StAR) Initiative yang mana membutuhkan kerjasama internasional, baik bilateral maupun multilateral dalam rangka pengembalian aset. Bahkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir banyak kejahatan yang menimbulkan kerugian negara terjadi di Indonesia.
“Sehingga pengembalian aset merupakan ‘missing link’ dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Rumusan dan implementasi yang efektif tentang pengembalian aset hasil korupsi memiliki makna ganda bagi pemberantasan kejahatan korupsi di Indonesia. Pertama, implementasi yang efektif ketentuan tentang pengembalian aset tersebut akan membantu negara dalam upaya menanggulangi dampak buruk kejahatan korupsi. Kedua adanya legislasi yang memuat klausul tentang pengembalian aset hasil kejahatan korupsi merupakan pesan jelas bagi para pelaku korupsi, bahwa tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan korupsi (no safe haven), baik kekayaan Indonesia yang dilarikan ke luar negeri maupun harta kekayaan luar negeri yang ada di Indonesia,” jelasnya.
Memang tidak selamanya pengembalian aset negara selalu terkait dengan hasil kejahatan. Namun, yang paling dominan kejahatan di bidang ekonomi yang meliputi korupsi, kejahatan perpajakan, kejahatan perbankan, perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang serta kejahatan pencucian uang.
Dalam pandangannya, Eddy Hiariej mengungkapkan bahwa pencurian aset sering kali bertalian dengan suatu rezim otoriter yang korup. Oleh karena itu dalam upaya pengembaliannya membutuhkan beberapa prasyarat.
Selain kemauan politik negara (political will), pengembalian aset mensyaratkan pula sistim hukum, kerjasama kelembagaan serta kerjasama internasional.
“Tidak hanya kemauan politik pemerintah sebagai eksekutif, melainkan pula kemauan politik dari parlemen dan lembaga yudikatif. Kemauan politik parlemen ini tentunya terkait seperangkat aturan hukum yang harus disiapkan mulai dari pelacakan aset, pembekuan, penyitaan, permpasan, pengelolaan, penyerahan hingga sampai pada pemanfaatan dan pengawasan aset yang telah diserahkan,” tandasnya. (Humas UGM)