Peristiwa bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta cenderung mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir. Bunuh diri di wilayah tersebut terjadi secara beruntun mulai awal 2003 hingga akhir 2012. Selama periode itu, telah terjadi sebanyak 330 kasus bunuh diri dengan rata-rata terjadi 33 kasus bunuh diri setiap tahunnya.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul guna mengantisipasi kejadian itu. Upaya itu antara lain menyusun dan melakukan sosialisasi sejumlah program penanggulangan tindakan bunuh diri kepada seluruh lapisan masyarakat seperti melalui sosialisasi langsung, pembagian modul serta pedoman deteksi dini dan pendampingan kelompok yang berisiko tinggi melakukan bunuh diri.
“Tindakan bunuh diri di Gunungkidul merupakan tragedi kemanusiaan yang penyebabnya masih menjadi sebuah misteri. Seringkali tindakan bunuh diri dikaitkan dengan hal bersifat mistis yaitu mitos pulung gantung,” papar Drs. I Wayan Suwena, M.Hum., saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Selasa (19/7).
Sebagian masyarakat setempat meyakini bahwa bunuh diri yang semakin marak terjadi di daerahnya itu terjadi sebagai akibat pelaku bunuh diri terkena atau kejatuhan pulung gantung. Mitos pulung gantung ini melegitimasi tindakan bunuh diri masyarakat Gunungkidul sehingga bunuh diri dapat ditempatkan sebagai fakta simbolik.
Dari penelitian yang dilakukan Suwena terhadap fenomena pulung gantung ini diketahui bahwa bunuh diri di Gunungkidul merupakan suatu tindakan simbolik dari proses komunikasi. Pelaku bunuh diri sebenarnya ingin menjalin komunikasi dengan orang lain untuk memecahkan permasalahan hidup yang tengah dihadapi. Namun demikian, pelaku tidak mampu mengakses media untuk menyampaikan maksudnya tersebut.
“Orang-orang yang mengalami kegagalan berkomunikasi tersebut melakukan kegagalan, kesalahan, kekeliruan, maupun kesesatan pula saat melakukan signifikansi pada pulung gantung,” terang dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ini.
Suwena mengatakan pulung gantung yang semestinya dimaknai sebagai gejala alam biasa, tetapi dimaknai sebagai pertanda atau isyarat kejadian bunuh dengan cara menggantung diri. Selanjutnya, penceritaan pulung gantung dan pelaksanaan serangkaian ritual pasca kejadian bunuh diri menjustifikasi bahwa tindakan bunuh itu sebagai suatu proses kematian yang alami dan dianggap wajar.
Guna mengantisipasi merebaknya kejadian bunuh diri perlu diupayakan untuk menciptakan kerukunan dalam berkomunikasi, baik dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memperkaya atau memproduksi sebanyak mungkin media yang dapat digunakan untuk mengadakan komunikasi.
“Penggunaan media komunikasi secara intensif diharapkan dapat menyembuhkan kegagalan, kesalahan, maupun kesesatan dalam memaknai pulung gantung yang sesungguhnya sebagai tanda alam,” terangnya.
Suwena berharap melalui langkah tersebut masyarakat tidak terlalu menanggap serius apabila melihat penampakan pulung gantung. Dengan begitu, upaya melakukan bunuh diri bisa berkurang. (Humas UGM/Ika)