Pertumbuhan industrialisasi di Indonesia belum memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat yang tinggal di daerah kawasan industri untuk bebas dari belenggu kemiskinan. Meski setiap industri kini memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR) namun program ini tidak memberikan dampak yang cukup signifikan karena CSR tidak lebih dari upaya untuk mempromosikan diri.
Hal tersebut diakui oleh antropolog UGM Prof Dr Irwan Abdullah MA dalam bedah buku “LNG, Strategi Bisnis Energi dan Pembangunan”, Senin (27/10) di Ruang seminar, Gedung Sekolah Pascasarjana UGM. Hadir dalam diskusi tersebut, penulis buku sekaligus mantan presiden direktur PT Arun NGL Ir Aknasio Sabri, Dosen Jurusan Teknik Geologi UGM Dr Hendra Amijaya dan Ketua Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM Prof Dr Susetiawan.
Menurut Irwan Abdullah, belum sejahteranya masyarakat yang tinggal di daerah kawasan industri dikarenakan belum terjalinnya mekanisme hubungan antara industri dengan masyarakat yang lebih baik. Bahkan dalam pendirian sebuah industri pun, imbuhnya, pihak industri mengabaikan upaya membangun kapasitas masyarakat, melainkan bertujuan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia.
“Masuknya industrialisasi setidaknya mengubah kultur, tranformasi, dari struktur agraris menjadi industri, seharusnya industri mempersiapkan kapasitas masyarakat terlebih dahulu mulai dari relokasi, melakukan pelatihan, pengembangan SDM, sehingga saat industri mulai berdiri akan mampu menyerap tenaga kerja lokal,” jelasnya.
Dirinya menyontohkan, penelitian yang dilakukan oleh peneliti UGM yang dilakukan di masa rezim Soeharto akhir tahun 90 an, menemukan bahwa desa yang paling miskin di Indonesia berada di daerah kawasan PT Caltex, Riau.
“Presiden Soeharto pernah meminta peneliti dari UGM di kala itu untuk meneliti desa miskin di indonesia, hasil penelitian tersebut ternyata ditemukan desa yang paling miskin di Indonesia berada di dekat daerah perusahaan minyak tersebut,” ungkap Direktur Sekolah Pascasarjana UGM ini.
Diakui oleh pria kelahiran Lhoksumawe, Aceh ini, hal yang sama juga terjadi sekarang ini dimana kabupaten lhokseumawe Aceh sebagai tempat lokasi beroperasinya PT Arun NGL juga mengalami hal yang sama dimana mayoritas masyarakatnya masih hidup miskin.
“Hasil data statistik di Lhoksumawe saat ini menunjukkan 60 persen masyarakat masih hidup miskin terutama di desa-desa,” imbuhnya.
Sementara Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM Dr Hendra Amijaya menegaskan, bisnis migas seperti yang dilakukan oleh PT Arun LNG merupakan salah satu bisnis yang membutuhkan biaya yang cukup tinggi dalam investasi dan memiliki risiko yang begitu besar apabila dalam eksplorasi, prosesing dan marketing.
“Kondisi ini menyebabkan pihak industri banyak mengabaikan keberadaan masyarakat sekitar, dan hanya bertujuan melakukan eksplorasi, prosesing dan marketing,” katanya.
Sedangkan penulis buku sekaligus mantan presiden direktur PT Arun NGL Ir Aknasio Sabri mengungkapkan bahwa LNG Arun sebagai salah satu pemain besar dalam pengusahaan gas, sehingga memiliki signifikansi yang sangat nyata dalam penyediaan energi. Produksi LNG Arun yang mencapai sekitar 4,2 juta ton per tahun telah memberikan kontribusi nyata terhadap dinamika ketersediaan energi di Indonesia dan dunia meskipun saat ini terjadi penurunan produksi secara gradual penurunan kapasitas produksi Lapangan Arun.
“Meskipun sudah terjadi penurunan produksi, kontribusi LNG Arun memberikan kontribusi besar bagi APBD yang memberikan manfaat untuk masyarakat Aceh dan memberikan komitmennya pada masyarakat sekitar dengan program community development,” ungkapnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)