Banjir pasang (Rob) merupakan salah satu fenomena bencana alam yang sering terjadi di kawasan pesisir Semarang. Dampak banjir “rob” semakin besar seiiring dengan perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai dan penurunan muka tanah di kawasann pantai ini. Di masa mendatang, dampak banjir rob ini diprediksikan semakin besar dengan adanya skenario kenaikan muka air laut sebagai efek pemanasan global.
Hal tersebut disampaikan oleh peneliti dari Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM, Emi Dwi Suryanti, Senin (3/11) dalam seminar “Adaptasi Masyarakat Kawasan Pesisir Semarang terhadap Bahaya Banjir Pasang Air Laut” di ruang diskusi PSBA UGM.
Menurut hasil penelitian Emi Suryanti, terjadinya banjir rob menimbulkan pengaruh yang besar terhadap masyarakat Semarang, terutama yang bertempat tinggal di kawan pesisir. Bahkan banjir rob di kawasan pesisir akan semakin parah dengan adanya genangan air hujan atau banjir kiriman, dan banjir lokal akibat saluran drainase yang kurang terawat.
“Pada kondisi ini masyarakat tetap melakukan adaptasi untuk bertahan dalam lingkungan yang ada, tidak heran masyarakat pesisir utara kota Semarang tetap memilih tinggal di daerah tersebut meski daerahnya tidak nyaman untuk hunian,” ujarnya.
Berbagai hal yang memotivasi masyarakat tetap tinggal di daerah tersebut, menurut hasil penelitian Emi disebabkan sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai buruh industri dan nelayan, sehingga enggan untuk berpindah karena merasa aksesnya lebih dekat dan mudah jika tinggal di daerah tersebut.
Masyarakat pesisir di daerah Semarang ini ini dinilai Emi juga telah melakukan beberapa adaptasi terhadap bankjir rob dengan membuat talud dan tanggul permanen, menambah ketinggian jalan seputar rumah dan beberapa warga telah berinisiatif membuat rumah panggung.
“Untuk mengurangi dampak dari banjir rob, komunitas kawasan pesisir perlu dilakukan program penanggulangan secara komprehensif yang melibatkan pemerintah dan masyarakat,” imbuhnya.
Hal senada juga diakui dosen Geografi UGM, Aris Marfai, fenomena banjir rob di kawasan pesisir semarang merupakan akibat dari berbagai proses perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai dengan dibangunnya lahan tambak, rawa dan sawah yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut dan kini telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya.
“Perubahan penggunanan lahan ini dilakukan dengan cara menimbun dan meninggikan daerah tambak, rawa dan sawah untuk berbagai penggunaan lain, sehingga ketika air pasang laut tidak tertampung lagi dan kemudian menggenangi kawasan yang lebih rendah,” ungkapnya.
Disebutkan Aris, dari sekitar 790,5 lahan di kecamatan semarang utara tidak ada lahan tambak lagi, dan dari sekitar 585 hektar total lahan di kecamatan semarang barat hanya terdapat sekitar 126,5 hektar lahan tambak.
Sedangkan proses terjadinya penurunana muka tanah di kawasan pantai, menurut Aris, sangat bervariasi berkisar antara 2 hingga 25 cm per tahun. Bahkan di wilayah Kelurahan Bandarharjo, Tanjung Mas dan sebagian kelurahan Terboyo Kulon mencapai 20 cm per tahun.
Adapun kenaikan muka air laut sebagai efek pemanasan global, antara tahun 1990 hingga tahun 2010 diprediksi Aris Marfai akan terjadi kenaikan suhu rerata permukaan bumi sebesar 5,8 derajat celcius.
“Pemanasan global ini akan menyebabkan perubahan iklim bumi, dan kenaikan muka air laut mencapai satu meter,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)