Kondisi legislasi daerah saat ini tidak begitu menggembirakan dalam mewujudkan makna desentralisasi. Jika pada era berlakunya UU No 22/1999 terjadi booming Perda dengan embel-embel spirit reformasi, maka hal itu tidak juga menjadikan desentralisasi lebih baik. Bahkan dalam perjalanannya banyak peraturan justru hanya memberikan beban bagi masyarakat dan dunia usaha.
“Menariknya ketika terjadi kasus pembatalan Perda dan kebijakan pengetatan proses proses legislasi oleh pusat, telah memunculkan fenomena keengganan daerah melakukan perbaikan regulasi yang dibutuhkan, dan menjadikan banyaknya rancangan Perda yang telah direncanakan sebelumnya terbengkelai,” ungkap Prof Dr Marsudi Triatmodjo SH LLM, Dekan Fakultas Hukum UGM, Senin (1/12) di fakultas setempat menjelang penyelenggaraan Press Gathering bertajuk “Ada Apa Dengan Legislasi Di Daerah”.
Dikatakannya, kemacetan Program Legislasi Daerah (Prolegda) yang melanda hampir seluruh pemerintahan daerah saat ini tak terhindarkan lagi. Daftar Raperda yang muncul dari tahun ke tahun hingga menjelang 5 tahun masa bakti DPRD, ternyata lebih banyak menghasilkan Raperda yang tidak terselesaikan. Telah terjadi gap target output antara yang direncanakan dengan realisasi, misalkan dari target 12 penetapan Perda hanya 6 Perda ditetapkan hingga akhir periode.
Press Gathering hasil kerjasama Fakultas Hukum UGM dan Swisscontact ini, akan berlangsung hari Kamis, 4 Desember 2008 di Cafe University Club UGM. Beberapa pembicara dihadirkan sebagai pemantik jalannya diskusi, Okto Lampito (Jurnalis) mengkaji “Peran Jurnalis Dalam Memantau Kinerja Legislasi Dewan”, P Agus Rochman (DPRD Sleman) membedah “Potret Kinerja Dewan Dalam Proses Legislasi”, Basuki Hari Saptono (Kabag Hukum Pemkot Yogya)mengupas “Kondisi Legislasi Sebelum dan sesudah Technical Assistance RIA di Pemkot Jogja” dan Enny Nurbaningsih (Akademisi FH UGM) menganalisis “Pendekatan dan Metodologi Dalam Peningkatan Kualitas Regulasi Daerah” serta bertindak sebagai moderator Dekan Fakultas Hukum UGM. (Humas UGM)