Sosiolog UGM Dr Partini mengatakan, kondisi ekonomi yang terpuruk sekarang ini menyebabkan semakin menguatnya ‘feminisasi kemiskinan’, yakni kemiskinan didentikkan dengan wajah perempuan karena adanya sebuah kenyataan bahwa sebagian besar angka kemiskinan diisi oleh perempuan.
“Lebih dari separo penduduk miskin di negara berkembang adalah perempuan, termasuk dalam hal ini di Indonesia,” kata Dr Partini dalam Diskusi “Potret Buram Perempuan Pedesaan”, Rabu (24/12) di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM.
Menurut Partini, kemiskinan perempuan disebabkan oleh banyak faktor, terutama faktor ekonomi dimana perempuan sulit mendapatkan akses pada sumber daya ekonomi, misalnya dalam bekerja perempuan mendapat upah lebih rendah dari laki-laki meski alokasi waktu dan jenis pekerjaan yang dilakukan sama.
“Perempuan memiliki jam kerja sekitar 30-50 persen lebih panjang dari laki-laki untuk pekerjaan yang dibayar maupun yang tidak dibayar, dibandingkan dengan laki-laki pada usia yang sama,” katanya.
Bahkan perempuan mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dibandingkan dengan laki-laki. Disamping itu, lanjut Partini, karena dalam kondisi miskin, laki-laki bisa melepaskan tanggung jawab keluarga dengan menceraikan isterinya atau pergi dari desanya meninggalkan keluarga.
“Sehingga banyak perempuan mengambil alih tanggung jawab keluarga ketika ia menjadi janda,” ujarnya.
Diakui oleh Partini, sebanyak 17 persen rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan. Berdasarkan tingkat umur, jumlah kepala rumah tangga perempuan yang berumur 20-30 tahun sebesar 8 persen, umur 31-40 tahun 19 persen, umur 41-50 tahun 29 persen, umur 51-60 tahun 23 persen dan di atas 60 tahun 19 persen.
Sedangkan perempuan menjadi kepala rumah tangga akibat janda mati sebesar 53 persen, janda cerai sebanyak 23 persen, suami sakit 7 persen, lajang 7 persen, dan ditinggal suami sebanyak 10 persen.
Diakui oleh Partini, yang lebih memprihatinkan jenis pekerjaan yang digeluti oleh para perempuan ini selaku kepala rumah tangga ini dengan cara berdagang kecil-kecilan, bertani dan beternak. Hal inilah, menurutnya, menjadikan perempuan mendapatkan pendapatan yang sangat kecil. Sebanyak 51 persen dari mereka memiliki pendapatan kurang dari 7.500 rupiah sehari, 33 persen yang memiliki penghasilan 7.500 hingga 15 ribu rupiah, sedangkan 16 persen yang baru bisa memiliki penghasilan di atas 15 ribu sehari.
“Mereka ini berjibaku memenuhi kebutuhan hidup dengan pekerjaan seadanya alias serabutan, kita bisa membayangkan bagaimana mereka bisa bertahan hidup, apalagi dengan jumlah tanggungan di atas 5 orang anak,” imbuhnya.
Selain faktor ekonomi, ujar Partini, faktor pendidikan, politik dan kesehatan yang rendah juga telah menyebabkan perempuan terbelenggu kemiskinan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)