Rektor UGM Prof Ir Sudjarwadi MEng PhD mengatakan, tantangan utama yang dihadapi bangsa indonesia sekarang ini adalah menularkan semangat yang dimiliki oleh para pejuang-pejuang kemerdekaan kepada generasi yang ada sekarang ini untuk mencintai dan berkontribusi membangun bangsanya dengan lebih baik.
“Terutama semangat para pejuang kemerdekaam dan para pejuang pendiri UGM,” kata Sudjarwadi, dalam pembukaan kuliah umum ‘Peringatan Republik Yogya’ oleh Sejarawan UGM Prof Dr Suhartono Wiryopranoto, yang diselenggarakan oleh UKM Menwa UGM di Balai Senat, Sabtu (10/1).
Menurut Sudjarwadi, melalui kuliah umum yang disampaikan oleh sejarawan UGM ini diharapkan mendukung sivitasakademika dan masyarakat luas untuk melestarikan nili-nilai yang berguna bagi kemajuan bangsa dalam bentuk jejaring koneksi akan pemahaman nilai-nilai kebangsaan.
Dalam kuliah umum yang disampaikan Prof Dr Suhartono Wiryopranoto, mengungkapkan kembali sejarah Yogyakarta yang sempat menjadi ibukota Republik Indonesia selama empat tahun. Tepatnya pada 4 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949.
Berpindahnya ibukota RI saat itu, tandas Suhartono, bukan tanpa alasan, karena situasi Jakarta kala itu dalam kondisi tidak aman dan roda pemerintahan RI macet total akibat adanya unsur-unsur yang saling berlawanan. Di satu pihak, masih adanya pasukan Jepang yang memegang satus quo, di pihak lain adanya pihak sekutu yang diboncengi NICA. Bahkan, situasi Jakarta makin genting dan keselamatan para pemimpin bangsa pun terancam. Maka atas inisiatif HB IX, ibukota RI pun berpindah ke Yogyakarta.
“Hijrah ibukota RI itu merupakan atas nasehat dan prakarsa Sri Sultan Hamengkubuwono IX,” ungkapnya.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM mengakui bahwa dari yogyal persoalan politik bangsa di kala itu dikoordinasikan. Semua itu bisa ditangani dengan baik berkat kepemimpinan HB IX. “Sudah bukan rahasia lagi bahwa HB IX berperan besar dalam mengelola Republik Yogya sehingga semuanya berjalan lancar dan cita-cita Republik menuju persatuan bangsa dan pengakuan kedaulatan dapat terlaksana dengan baik,” katanya.
Dipilihnya Yogya sebagai ibukota RI karena pandangan politik ke depan dan keberanian Sultan HB IX mengambil resiko. Sehingga dapat dikatakan HB IX dan masyarakatnya merupakan penyambung kelangsungn RI dalam menghadapi agresi militer Belanda.
“HB IX merupakan aktor intelektualis yang memiliki multi status. Selain sebagai Raja, kepala derah, menteri pertahanan, Sultan adalah key person dan juru runding dengan belanda, juga sebagai figur kunci birokrasi sipil di Indonesia,” tegasnya.
Lebih jauh Suhartono menjelaskan sosok HB IX yang aslinya bernama G.R.M Dorojatun, sejak diangkat menjadi Sultan 18 Maret 1940, menggantikan ayahnya Sri Sultan HB VIII sudah dekat dengan kalangan rakyat.
“Dorojatun muda memang sangat dekat dengan rakyat, tentu saja beliau memahami aspirasi rakyat, termasuk penderitaan dan harapannya semasa penjajahan Belanda dan Jepang,” tandasnya.
Prinsip yang dikenal dari HB IX ‘Tahta untuk rakyat’ adalah perubahan paradigma yang sangat luar biasa sebagaimana tersirat bagi kewajiban seorang raja mengayomi rakyat dengan pengorbanan moril dan materiil yang tulus.
“Kejujuran dan kesederhanaannya merupakan dasar kepribadiannya demi kemanunggalan antara Sultan dan kawulanya (rakyat),” tambahnya.
Sementara Ketua Senat Akdemik (SA) UGM, Prof dr Sutaryo menyinggung tentang maklumat 5 September 1945 yang pernah disampaikan oleh dua pemimpin Yogyakarta di kala itu, Sri Sultan dan Sri Paku Alam, mengeluarkan amanat tentang posisi kedudukan DIY dalam lingkungan RI serta mengajak masyarakat Yogyakarta kompak dalam menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dalam maklumat tersebut, kata Sutaryo, daerah Ngayokyokato Hadiningrat merupakan bagian dari NKRI dimana hubungannya dengan RI bersifat langsung, serta bertanggung jawab kepada presiden, sementara urusan pemerintahan di Yogyakarta diserahkan ke tangan Sultan.
“Inilah yang menjadi cikal bakal keistimewaan DIY,” katanya.(Humas UGM/Gusti Grehenosn)