Pemerintah Indonesia menyadari bahwa infrastruktur transportasi yang tidak memadai telah menghambat pembangunan ekonomi dan sosial. Untuk “memenuhi” kekurangan pembiayaan, pemerintah telah berupaya mendorong investasi sektor swasta dalam bidang transportasi melalui Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS). Upaya pemerintah ini diperlihatkan dengan mengeluarkan peraturan-peraturan guna meminimalkan resiko investor dan pembebasan lahan. Bahkan di sepanjang tahun 2005-2006, hampir 100 kesempatan kerjasama ditawarkan pemerintah kepada investor-investor potensial.
Demikian disampaikan Prof Danang Parikesit saat berlangsung diskusi terbatas “Arah Baru Reformasi Bidang Transportasi”, Selasa (13/1) di Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM.
Dikatakannya, PUSTRAL UGM sendiri pada tahun 2008 menjalin kerjasama dengan Universitas Sydney Australia. Dari kerjasama tersebut, telah dihasilkan dana riset berjudul Governance Reform Initiative in Transport Sector Project (GREAT Project).
Riset ini, tandas Danang, telah merekomendasikan berbagai program peningkatan pengetahuan dan kapasitas para pemangku kepentingan terkait (organisasi pemerintah, swasta dan pendidikan di Indonesia) untuk membantu dalam hal memahami dan melaksanakan proyek-proyek KPS dan kebijakan subsidi/PSO secara lebih efisien dan efektif. Riset ini mencatat pula bahwa dalam beberapa dekade terakhir ini, meski pemerintah sangat antusias, namun sektor swasta terkesan masih enggan terlibat dalam proyek-proyek KPS di Indonesia.
Beberapa alasan menjadi penyebab kenapa mereka enggan terlibat. Sektor swasta menilai proyek-proyek yang disusun tidak matang, kerangka kebijakan yang menanungi buruk serta sikap prihatin mereka terhadap tata kelola sektor tersebut.
“Dengan tidak adanya investasi terutama setelah era Soeharto dan semakin banyaknya proyek KPS yang diperiksa, mengakibatkan Indonesia menjadi negara dengan proyek KPS terbesar di Asia yang gagal dilaksanakan. Bahkan laporan World Bank, Asian Development Bank, JBIC menyebutkan nilai proyek KPS di Indonesia yang gagal mencapai 4736 juta USD. Bila dibandingkan Filipina yang hanya 935 juta USD, Malaysia 2358 juta USD, Vietnam 154 juta USD, Thailand 632 juta USD dan Kamboja 1 juta USD,” terang Danang.
Kegagalan tersebut semakin diperparah, karena Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) di daerah hingga saat ini belum tersosialisasi dengan baik. Disamping itu Peraturan Presiden No 67/2005 tentang KPS dianggap tidak fleksibel dengan kondisi di daerah. Dalam pandangan pemerintah daerah, proyek KPS hanya bisa dilaksanakan untuk proyek-proyek besar dengan jangka waktu panjang, sehingga sulit untuk dilaksanakan di daerah.
“Sebagai contoh dari 11 pembangunan jalan tol di daerah yang ditenderkan di BPJT, hanya ada 1 yang layak, sedangkan selebihnya dinyatakan tidak layak secara finansial,” tambahnya.
Oleh karena itu, tim peneliti yang terdiri dari Prof Danang Parikesit, Dr. Purwo Santoso dan Restu Novitarini Dj (UGM), Prof John Black dan Associate Prof. John Lea (University of Sydney) dan Harya Setyaka S Dillon dari URDI (Urban and Regional Development Institute), menyimpulkan bahwa untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah perlu untuk membangun suatu visi nasional yang mengintegrasikan infrastruktur transportasi dan pelayanannya. Perlu melakukan konsolidasi aliran dana dari berbagai sektor pepemrintah yang mampu memberikan dukungan pembiayaan bagi infrastruktur tranportasi.
Selain itu perlu pula pengembangan dukungan pembiayaan yang langsung dan eksplisit dari pemerintah kepada sektor swasta serta penguatan Departemen Perhubungan dan Departemen Pekerjaan Umum, misalnya Direktorat Jenderal Bina Marga terkait perijinan, konsesi dan kontrak untuk sektor swasta guna pelaksanaan pelayanan transportasi. (Humas UGM)