Direktur Timur Tengah Deplu Drs Aidil Chandra Salim M.Com mengatakan, adanya genjatan senjata secara sepihak yang dilakukan oleh tentara Israel, tidak akan serta merta menghentikan konflik antar kedua negara meskipun kondisi terakhir di daerah jalur Gaza sekarang sudah mulai relatif aman dengan ditariknya pasukan israel dari wilayah Palestina.
“Meski kondisi sudah mulai membaik, namun kemungkinan untuk kembali terjadi perang juga tetap masih ada. Sebab proses kesepakatan genjatan senjata ini diambil secara sepihak dan bukan atas kesepakatan bersama antar kedua negara yang bertikai,” ujar Aidil Chandra di sela kegiatan seminar ‘Gaza Pasca Serangan Israel’, Rabu (28/1) di ruang seminar Sekolah Pascasarjana UGM.
Menurut Aidil, kondisi di jalur Gaza sekarang menurutnya sudah berangsur membaik dengan diperbolehkannya para relawan, bantuan kemanusiaan, dokter dan wartawan untuk masuk ke jalur Gaza. Meski begitu kata Aidil, akibat serangan yang dilancarkan Israel selama 23 hari lalu terhadap Palestina di jalur Gaza telah menelan korban 1500 korban jiwa meninggal dengan 400 korban diantaranya anak-anak, 5300 orang luka-luka serta 25 ribu warga sipil terusir dari rumahnya.
Konflik yang melanda antara Palestina-Israel dalam 50 tahun terakhir menurut Aidil, tidak bisa dilepaskan dari fakta sejarah bahwa empat perang yang telah berlangsung dari tahun 1948, 1956, 1967 dan 1973. Terbukti dari perang tersebut merugikan Palestina dan secara dramatis telah menciutkan tanah Palestina menjadi hanya kurang dari 12 persen dari wilayah semula.
“Intinya, realita saat ini menunjukkan bahwa jalur perundingan adalah lebih feasible,” katanya.
Aidil menambahkan, upaya perundingan untuk menegahi konflik kedua negara yang sering bertikai ini tengah dilakukan oleh pemerintah Pemerintah Indonesia. Namun, sikap Indonesia kata Aidil sama seperti yang diutarakan sebelumnya tetap menganggap tindakan agresi Israel terhadap Palestina merupaka tindakan yang tidak proporsional, dengan persenjataan yang tidak seimbang di pihak Paletina telah menyebabkan korban yang jatuh di pihak sipil cukup besar.
Pemerintah RI, tambahnya, akan terus mendorng langkah proses dialog dengan melibatkan semua pihak. Meski perundingan merupakan langkah penting unutk menuju proses damai, imbuh Aidil, dirinya tetap menyarankan agar bangsa Palestina dapat memanfaatkan semaksimal mungkin dukungan internasional baik dari dunia arab, dunia Islam dan dunia ketiga dalam mendukung perjuangan bersenjata dan diplomasi untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan nasionalnya.
Ia juga sempat menyarankan agar Palestina juga untuk meniru pengalaman perjuangan bangsa Indonesa yang berhasil mempertahankan kemerdekaan 64 tahun yang lampau. Perjuangan kemerdekaan RI saat itu memadukan upaya militer dengan diplomasi dimana TNI berfungsi sebagai lambang eksistensi RI secara fisik, sementara diplomasi digunakan senagai instrumen peraih dan penegas pengakuan internasioal.
“Penting bagi bangsa Palestina untuk mentransformasi sayap militernya dari yang saat ini cenderung bersifat milisi menjadi tentara konvensional, baik dalam organisasi, disipilin, hierarki dan tanda-tanda kesatuan,” ujarnya.
Seminar yang diselenggarakan oleh program S2 dan S3 Kajian Timur tengah menghadirkan juga pembicara Dosen Hukum Internasional UII Dr Djawahir Tantowi dan Dosen Isipol UMY Harwanto Dahlan. Dalam makalahnya, Dr Jawahir Tantowi menegaskan genjatan senjata oleh pemerintah Israel untuk sementara ini lebih dimaksudkan sebagai tanda penghormatan atas suasana penyelenggaraan pelantikan Barrack Obama sebagai presiden Amerioka serikat ke 44. Sementara, bagi kekuatan Hamas di Gaza, kondisi tersebut dapat dimaknai sebagai moratorium menunggu serangan militer Israel berikutnya dengan penuh ketidakpastian.
“Sehingga jalan menuju penyelesaian damai Israel Palestina semakin tidak realistik,” tegasnya.
Direktur Sekolah Pascasarjana UGM Prof Dr Irwan Abdullah dalam pidato sambutannya yang hadir membuka acaa seminar, mengatakan bahwa informasi atas konflik Palestina-Israel yang diterima oleh masyarakat Indonesia baru sebatas informasi dari realitas yang disampikan oleh media.Bahkan, persoalan konflik israel dan palestina yang sudah berlasngung selama setangah abad lebih tersebut telah membangun kontruksi pemikiran terhadap apa sesungguh yang terkadi masih sangat menipulatif.
“Hanya sedikit dari kita bisa melihat persoalan, berkesempatan dan mengkaji latar sejarah persoalan Israel dan Gaza. Kemampuan kita untuk memahami terhadap fakta yang terjadi masih berdasarkan dengan apa yang dibangun oleh media,” katanya.
Dirinya mengaku sangat antusias dan memberikan apresiasi adanya diskusi akademik perihal realitas konflik gaza yang dipahami secara seksama melalaui kajian akademis untuk memahmi persoalan tersebut secara menyeluruh. (Humas UGM/Gusti Grehenson)