Penyuluh pertanian harus bekerja lebih profesional. Sementara itu, tuntutan pentingnya pelestarian lingkungan juga semakin gencar. Tuntutan itu merupakan dampak dari pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Kerusakan lingkungan tidak hanya menjadi isu lokal atau nasional, tetapi sudah menjadi isu global. Ecolabeling, green label, organic certificate, dan ISO 14.000 merupakan tuntutan yang berkaitan langsung dengan lingkungan hidup dan menjadi bagian penting tugas penyuluh pertanian. Hal tersebut disampaikan Prof. Dr. Ir. Sunarru Samsi Hariadi, M.S. di Balai Senat UGM, Rabu (25/2) saat dikukuhkan sebagai guru besar pada Fakultas Pertanian UGM.
Menurut Sunarru, untuk menghadapi kondisi tersebut, penyuluh pertanian diharapkan mampu menjadikan lingkungan hidup menjadi bagian dari pembangunan. Saat ini, permasalahan petani dan teknologi pertanian semakin kompleks. Namun, jumlah penyuluh negeri masih terbatas. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan berbagai pihak, termasuk perlunya penyuluh swasta. “Privatisasi penyuluhan ini akan terus meningkat karena problem yang dihadapi petani dan masyarakat pedesaan juga terus berkembang. Belum lagi perkembangan sistem informasi elektronik yang menyebabkan privatisasi penyuluhan semakin mendesak dipercepat, sebagaimana terjadi di Amerika, Belanda, dan Australia,” kata Sunarru.
Dalam pidato pengukuhan “Penyuluhan Dialogis untuk Menjadikan Petani Penyuluh dan Mandiri”, pria kelahiran Yogyakarta, 4 Juni 1954, ini menjelaskan bahwa sebagai ilmu, penyuluhan akan terus berkembang searah dengan perkembangan riset. Sebagai terapan, penyuluhan pertanian merupakan suatu proses siklis yang terus dilakukan, tidak berhenti pada suatu titik. Hal tersebut disebabkan oleh kebutuhan petani dan masyarakat yang terus berkembang. Di samping itu, penyebab lain adalah perkembangan penduduk, teknologi pertanian, dan teknologi informasi serta perubahan masalah pertanian.
Berkembangnya permasalahan bidang pertanian menuntut dihasilkannya inovasi-inovasi mutakhir tentang teknis pertanian dan sosial ekonomi. Inovasi pertanian harus terus menerus dikaji oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Di pihak lain, petani pun mulai banyak yang berperan menemukan inovasi.
Sehubungan dengan hal itu, paradigma penyuluhan pertanian era agribisnis di masa depan semestinya memosisikan petani sebagai fokus kegiatan pembangunan pertanian. Petani diperlakukan sebagai pelaku utama atau subjek dan tidak lagi sebagai objek. Petani merupakan manajer pada usaha taninya sendiri. Mereka harus dilihat sebagai manusia yang memiliki potensi untuk mengambil keputusan dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengembangan usaha taninya bagi kesejahteraan keluarga, masyarakat. Mereka selayaknya dipandang memiliki kemampuan yang memadai dalam menghadapi tantangan keras di era persaingan bebas dan globalisasi serta mampu mengaplikasikan nilai kelestarian pembangunan pertanian.
“Oleh karena itu, sosok petani masa depan adalah usahawan pertanian yang profesional. Dengan begitu, maka tugas penyuluh pertanian di masa depan semakin berat. Harus mengubah sifat peasant menjadi farmer, mengubah pola pikir dari risk minimization menjadi profit maximization. Perubahan ini tentu saja searah dengan perubahan penyuluhan yang terjadi di Asia pada akhir-akhir ini,” papar suami Christine Sri Widiputranti dan ayah dua anak, Adhi Anindyajati dan Medha Paramitajati, ini. (Humas UGM)