Mengantisipasi semakin berkurangnya cadangan minyak bumi, Pemerintah Indonesia saat ini mulai memproduksi biodiesel sebagai substitusi BBM. Disebutkan dalam blueprint pengelolaan energi nasional 2005-2025 bahwa pemerintah telah menetapkan pemakaian biodiesel sebanyak 2% konsumsi solar pada tahun 2010, 3% pada 2015, dan 5% pada 2025. Selain itu, pemerintah juga menetapkan kebutuhan biodiesel mencapai 720.000 kiloliter pada tahun 2010 dan akan ditingkatkan menjadi 1,5 juta kiloliter pada 2015, dan 4,7 juta kiloliter pada 2025.
Demikian disampaikan Ir. Arief Budiman, M.S., D.Eng. selaku peneliti dan Koordinator Process System Engineering (PSE) Research Group, Senin (13/4) di UGM. Dikatakannya bahwa proses pembuatan biodiesel selama ini masih dilakukan secara batch, yakni bahan baku minyak direaksikan dengan alkohol dan katalisator basa dalam reaktor tangki berpengaduk selama 90-120 menit. Setelah itu, dibiarkan beberapa jam agar terbentuk dua lapisan yang kemudian dipisahkan. Bagian atas berupa biodiesel dan yang bawah berupa campuran gliserol, katalisator, dan sisa alkohol.
“Selanjutnya, biodiesel ini dipisahkan dari gliserol, katalisator, dan sisa alkohol. Salah satu kelemahan sistem batch ini adalah sudah biasa dipakai pada proses pembuatan biodiesel sehingga hanya cocok untuk kapasitas yang tidak begitu besar,” ujar staf pengajar Teknik Kimia UGM ini.
Disampaikan Arief, PSE Research Group UGM telah berhasil mengembangkan teknologi pembuatan biodiesel secara kontinu sebagai alternatif pengganti sistem pembuatan biodiesel secara batch. Prinsip teknologi ini adalah menggabungkan reaktor dan unit pemurnian ke dalam satu unit operasi yang dikenal dengan reactive distillation yang di bagian tengahnya ditandai dengan zona reaksi. Zona tersebut adalah zona reaksi pembentukan biodiesel dari minyak, metanol, dan katalisator terjadi. Lantas, pada bagian atas yang merupakan zona recovery metanol akan memungut kembali metanol sisa yang belum bereaksi. Sementara itu, di bagian bawah menjadi zona pemurnian biodiesel.
“Dengan konfigurasi seperti itu, bahan yang keluar dari unit operasi atau kolom sudah terpisah antara biodiesel dengan gliserol. Dengan begitu, di dalam satu unit operasi ini akan terjadi reaksi dan proses pemurnian secara simultan,” lanjutnya.
Ratna Dewi Kusumaningtyas, seorang peneliti yang juga mahasiswa S3 Teknik Kimia UGM, menjelaskan teknologi yang dikembangkan ini dapat dipakai untuk membuat biodiesel dari berbagai minyak, termasuk minyak jarak dan minyak sawit. Secara prinsip, reaksi antara minyak, metanol, dan katalisator dapat dijalankan didalam kolom reaksi yang berfungsi sebagai reaktor sekaligus pemurnian biodiesel. Sementara itu, recovery metanol dijalankan dengan kondenser yang dipasang di bagian atas kolom.
“Dari penelitian yang kami lakukan, konversi biodiesel dari minyak sawit bisa mencapai 94 persen. Sementara itu, jika dijalankan dengan sistem batch, konversi tidak lebih dari sembilan puluh persen. Hasil biodiesel yang diperoleh dari teknologi proses yang dikembangkan ini relatif lebih jernih dibandingkan dengan hasil biodiesel dari proses batch. Bahkan setelah dianalisis, biodieselnya juga memenuhi spesifikasi yang disyaratkan oleh Standar Nasional Indonesia,” jelas Dewi.
Peneliti lain, Ir. Sutijan, M.T., Ph.D., menambahkan kelebihan teknologi ini adalah terjadinya pengurangan capital cost karena berkurangnya reaktor, pipa, dan instrumentasinya. Di samping itu, biaya operasi atau biaya per unit massa produk menjadi lebih murah karena konversi yang diperoleh lebih tinggi. Dari sisi unit operasi, reaksi dan pemisahan berjalan pada satu alat sehingga lebih kompak dibandingkan dengan proses batch.
“Proses produksi biodiesel yang dikembangkan ini berlangsung secara kontinu sehingga cocok untuk kapasitas besar karena bisa lebih menghemat waktu dan tenaga untuk operasi,” tambah Sutijan yang juga staf pengajar Teknik Kimia UGM.
Sementara itu, Ir. Rochmadi, S.U., Ph.D. selaku anggota peneliti PSE Research Group menuturkan saat ini miniplant pabrik biodiesel secara kontinu dengan kapasitas 15 liter per hari telah beroperasi di Teknik Kimia, Fakultas Teknik UGM. Miniplant ini diharapkan dapat diaplikasikan pada skala besar, yaitu untuk scale up ke kapsitas menengah atau sekitar 500-1000 liter per hari.
“Tahapan ini sangat diperlukan sebelum pabrik skala besar berdiri, terutama untuk memastikan konfigurasi pabrik bisa berjalan dengan baik dan sekaligus akan sangat berguna bagi SDM yang akan mengoperasikan pabrik skala besar,” imbuh Rochmadi.
Ketua Jurusan Teknik Kimia UGM, Prof. Suryo Purwono, M.A.Sc., Ph.D., berharap keberhasilan tim PSE Research Group dalam mengembangkan teknologi produksi biodiesel secara kontinu akan segera diikuti dengan tahapan scale up skala menengah agar dapat segera diaplikasikan pada skala industri. Teknologi ini merupakan wujud inovasi teknologi warga UGM dalam mewujudkan dan memperkuat posisi UGM sebagai world class research university. (Humas UGM)