Fenomena pernikahan dini bukanlah hal baru di Indonesia, misalnya kasus pernikahan Syech Puji dan Lutfiana Ulfa yang menimbulkan kontroversi belum lama ini. Terdapat ratusan atau bahkan ribuan kasus perkawinan di bawah umur yang tidak mencuat ke permukaan. UU Perkawinan telah mengatur tentang pernikahan, tetapi tidak mengatur secara detail mengenai pernikahan di bawah umur. Hal itu memunculkan celah-celah yang menimbulkan pelanggaran terhadap hak anak.
“Pernikahan dini merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dalam konteks ini adalah anak. Namun, penegakan hukum untuk menindak hal tersebut masih lemah karena tidak ada ketentuan pasti yang mengaturnya,” kata Farid, pemerhati anak dari SAMIN, dalam diskusi publik “Pernikahan Anak: Pelanggaran Hak Anak Dilindungi oleh Undang-Undang(?)” di Gedung Masri Singarimbun, Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM. Rabu (6/5).
Meskipun telah diatur dalam UU Perkawinan, imbuh Farid, realitanya masih banyak terjadi penyimpangan. Salah satu penyimpangan adalah tentang batasan usia, yakni saat diberikan dispensasi oleh pejabat pencatat nikah dengan mengatrol umur yang diketahui oleh orang tua pasangan yang akan menikah. Padahal, dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria telah mencapai umur 19 tahun dan wanita telah mencapai umur 16 tahun.
Sementara dalam UU Perlindungan Anak disebutkan bahwa orang tua bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Namun pada kenyataannya, lanjut Farid, tidak sedikit orang tua yang tidak menjalankan peran tersebut. Hal itu terjadi karena memang belum ada sanksi tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat hingga terjadi pernikahan di bawah umur.
Pendapat senada dikemukakan Lily Ahmad dari Pengadilan Agama Negeri Bantul. Kondisi seperti ini, menurutnya diperparah oleh aturan yang simpel. Apabila terjadi perkawinan di bawah umur, cukup mengajukan izin ke pengadilan. Dalam UU perkawinan tidak diatur dengan jelas alasan atau syarat yang memperbolehkan diajukannya permohonan dispensasi pernikahan. Hal seperti inilah yang pada akhirnya memunculkan anggapan jika terjadi pernikahan dini akan beres hanya dengan meminta bantuan pejabat pencatat nikah untuk mengatrol umur.
“Baik dalam UU Perkawinan maupun UU Perlindungan Anak, tidak tertera sanksi jika terjadi pernikahan di bawah umur ini. Anak dan sekaligus orang tua yang jelas-jelas dalam UU Perlindungan Anak wajib mencegah terjadinya perkawinan, tidak dibebankan apa-apa. Ditambah lagi dengan sering dijumpainya pejabat pencatat akta nikah yang menuakan atau mengatrol umur, ” jelas Lily.
Menurut Lily, pemerintah harus segera merevisi UU Perkawinan, khususnya pernikahan di bawah umur. Permasalahan itu harus diatur lebih rinci sehingga dapat menjadi pedoman bagi hakim dalam mempertimbangkan perkara dan menjadi pendidikan hukum bagi masyarakat. Di samping itu, juga perlu ditambah dengan pemberian sanksi kepada pihak-pihak yang melakukan pernikahan dini dan pihak-pihak yang memungkinkan itu terjadi, khususnya orang tua yang tidak mencegah pernikahan di bawah umur.(Humas UGM/Ika)