Bencana banjir yang terjadi di Kota Bandung , Senin (24/10) kemarin, merupakan banjir yang paling parah sejak 10-20 tahun terakhir ini. Banjir Kota atau Urban Flood semacam ini hampir selalu mengancam kota-kota besar di Indonesia. Lebih-lebih, secara geomorfologi Kota Bandung berupa cekungan yang dikelilingi oleh banyak pegunungan dan daerah aliran sungai di sekitarnya. Ketua Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI), Prof. Dr. Sudibyakto, menilai perubahan tataguna lahan dan tata ruang wilayah hulu DAS Citarum berpengaruh besar terhadap banjir Kota Bandung ditambah topografi drainase kota yang miring mendukung sistem pengatusan banjir berlangsung lebih cepat.
Ketua Magister Manajemen Bencana UGM ini menuturkan bencana banjir kota Bandung memang awalnya disebabkan tingkat curah hujan yang berlangsung sangat singkat dengan intensitas sangat tinggi dan merata menyebabkan debit sungai dan saluran drainase kota terlampaui. Apalagi, sistem drainase Kota Bandung yang bertopografi miring mendukung sistem pengatusan banjir sehingga banjir berlangsung lebih cepat. “Sehingga terjadi banjir besar dan mampu menerjang apa saja yang dilewatinya,” kata Sudibyakto, Selasa (25/10).
Meski bencana banjir melanda Kota Bandung, tidak lepas dari faktor cuaca, kondisi biogeofisik permukaan lahan, dan faktor manusia. Guru Besar Fakultas Geografi UGM ini menilai perubahan tataguna lahan dan tata ruang wilayah hulu DAS Citarum berpengaruh besar terhadap banjir Kota Bandung. Selain itu, urbanisasi dan munculnya kompleks perumahan kumuh di sepanjang sungai juga menyumbang debit banjir. “Hujan dengan intensitas sangat tinggi di atas 60 mm/jam akan menyebabkan kemampuan lahan tidak mampu menyerap lebihan air hujan sehingga kapasitas infiltrasi tanah lebih kecil daripada intensitas hujan,” katanya.
Ia menengarai banjir Kota Bandung potensial terjadi dengan periode berulang dan makin sering terjadi,”Lebih-lebih ada kemungkinan faktor pengaruh kejadian hujan ekstrim sebagai isu perubahan iklim,” terangnya.
Untuk itu, ia mengusulkan Pemkot Bandung agar melakukan rencana kontijensi bencana banjir kota. Sejauh ini, Pemkot Bandung belum membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan instrumen kelembagaan lainnya yang terkait dengan kebencanaan. Meskipun sudah sering dilakukan pelatihan kebencanaan namun belum satu kesatuan terintegrasi. “Review dan Evaluasi Spasial terhadap rencana detil tata ruang skala besar perlu dilakukan secara menyeluruh dan bertahap,” katanya.
Disamping itu, tambahnya, penegakan aturan peruntukan lahan menjadi suatu kebutuhan agar Bandung Bebas Banjir di kemudian hari. Perilaku masyarakat kota termasuk para pimpinan wilayah harus berubah menjadi pelaku dalam mengurangi risiko banjir kota secara serentak dan berkesinambungan dengan fokus pada perbaikan ekosistem kota. (Humas UGM/Gusti Grehenson)