Karena perubahan iklim, sekitar sepertiga terumbu karang dunia saat ini menghadapi ancaman kerusakan. Sedimentasi, badai, rumput laut, osteoporiosis, dan predator juga turut menyebabkan terjadinya hal tersebut. Sementara itu, gas CO2 yang merupakan residu dari industri dan bisnis dunia menjadi salah satu faktor pemercepat kerusakan terumbu karang.
Demikian pernyataan Nancy Knowlton, Ketua Ilmu Kelautan Smithsonian Institution Amerika, dalam presentasi via digital video conference di acara diskusi “Global Environmental Protection and The Coral Triangle Initiatives”. Diskusi yang merupakan hasil kerja sama American Corner UGM dengan Kedutaan Besar Amerika Jakarta digelar di Ruang Baca American Corner Perpustakaan UGM, Jumat lalu (8/5).
Dikatakan Knowlton, diperlukan segera upaya konservasi kelautan untuk menyelamatkan sumber daya hayati kelautan dari kepunahan. Dalam upaya konservasi tersebut dibutuhkan banyak pendekatan. Salah satunya dapat dilakukan dengan belajar dari pendekatan konservasi burung kondor di Amerika yang hampir mengalami kepunahan pada tahun 1986. Ditambahkannya, “Tindakan pendekatan individual bukanlah pilihan yang realistis untuk kebanyakan spesies laut. Kemungkinan terdapat 60% spesies yang akan punah karenanya. Oleh sebab itu, dibutuhkan berbagai pendekatan untuk dapat menyelamatkan kondisi laut di dunia.”
Berawal dari kegelisahan itu, Nancy Knowlton bersama lebih dari 40 orang delegasi Amerika Serikat berangkat menuju Konferensi Kelautan Dunia dan Prakarsa Segitiga Karang (Coral Triangle Initiative/CTI) 2009 pada 11-15 Mei di Manado. CTI diajukan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2007 sebagai bentuk kerja sama multilateral untuk menjaga sumber daya biologi perairan pantai dan laut seluas 6 juta km di area Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Kegiatan tersebut mendapat sambutan hangat dari berbagai negara karena dipandang sebagai aksi yang memiliki manfaat luas pada lingkungan dan ekonomi. Pemerintah AS juga mendukungnya melalui sebuah program lima tahun senilai 40 juta dolar yang bertujuan membenahi pengelolaan sumber-sumber daya laut dan pesisir di wilayah itu.
Lebih lanjut Knowlton mengatakan diperlukan kerja sama berbagai pihak, antara lain, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pelaku bisnis dan industri, ilmuwan kelautan, dan masyarakat untuk mengatasi berbagai permasalahan ekologi tersebut. Untuk program jangka pendek dapat dilakukan dengan melakukan kontrol penangkapan ikan, mengembangkan kualitas air, dan menyediakan asuransi. Program jangka panjangnya dilakukan dengan mengurangi pembuangan CO2 ke udara dan menyelamatkan kekayaan hayati sumber daya kelautan.
Dari hasil penelitian, menurut Knowlton, Indonesia mengalami kesulitan untuk menjaga sumber daya kelautannya karena faktor geografis, ekonomis, dan sosial budaya. Dari faktor geografis, Indonesia memiliki wilayah pesisir dan laut yang sangat luas. Sementara dari aspek ekonomi, penjagaan sumber daya kelautan mengalami kesulitan karena dihadapkan dengan kultur masyarakat setempat yang sebagian besar menjadikan terumbu karang sebagai sumber penghidupan.
Salah satu cara yang mungkin dilakukan adalah dengan mengubah kebisaaan dan tradisi dalam memperlakukan terumbu karang. Masyarakat lokal diajak untuk berpartisipasi melakukan penjagaan di daerah sekitarnya. “Jika pesisir dan laut rusak, maka kehidupan masyarakat sekitarpun akan terancam, sedangkan lingkungan ini bukanlah hanya milik kita saat ini. Namun, juga milik anak cucu kita di abad berikutnya,” kata wanita yang meraih gelar doktor di Universitas Californa-Berkeley ini.
Dalam kerangka keilmuan, baik Indonesia maupun Amerika berkomitmen untuk bekerja sama dalam konservasi dan pendidikan. Ini adalah kesempatan bagi kedua negara untuk meningkatkan kewaspadaan atas samudera dan iklim. “We have just one planet and we are running out of time,” tandasnya. (Humas UGM/Ika)