Indonesia memiliki hutan seluas 120,35 juta ha. Kurang lebih 48 juta jiwa rakyat Indonesia menggantungkan kehidupannya pada keberadaan hutan tersebut. Namun patut disayangkan, sekitar 59 juta ha sumber daya alam hutan telah terdegradasi. Ada berbagai faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain, karena pengelolaan yang tidak benar, konversi hutan untuk berbagai keperluan pembangunan di luar sektor kehutanan, illegal logging, perambahan, dan penebangan hutan.
Pengembangan hutan tanaman rakyat (HTR) di hutan produksi merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan kualitas sumber daya hutan. Program ini diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian wilayah, sekaligus mampu merehabilitasi hutan secara cepat sehingga kualitas sumber daya hutan dapat dipulihkan. Dalam pengembangan HTR, pola usaha yang diterapkan diharapkan mengutamakan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang bermukim di sekitar hutan.
“Kesalahan penentuan strategi kebijakan HTR bisa berdampak pada kegagalan pemerintah dalam upaya memperbaiki perekonomian masyarakat karena yang terjadi sebenarnya adalah kebijakan yang eksploitatif,” kata Prof. Dr. Ir. Hj. Wahyu Andayani, M.S., Selasa (12/5)di Balai Senat UGM saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Manajemen Hutan pada Fakultas Kehutanan UGM.
Dalam pidato berjudul “Konsep Ekonomi Kehutanan dan Implementasinya dalam Pembangunan Hutan Tanaman”, Wahyu mengatakan kesalahan penerapan strategi kebijakan HTR akan mengakibatkan proses ekonomi berlangsung tidak wajar. Kondisi yang tidak saling menguntungkan tersebut menjadikan keadilan ekonomi dan efisiensi program HTR tidak dapat berjalan searah.
Dikatakan oleh wanita kelahiran Yogyakarta, 31 Januari 1952 ini, terdapat berbagai pola usaha yang dapat digunakan dalam program HTR, antara lain, pola mandiri, kemitraan, dan developer. Terkait dengan hal tersebut, Wahyu menyampaikan beberapa saran kepada pemerintah. “Sebaiknya kebijakan pola usaha yang diterapkan dalam program HTR adalah pola mandiri atau perorangan. Dalam pola mandiri, tiap individu masyarakat akan merasa sebagai pemilik atas lahan hutan negara yang akan dikelola. Di samping itu, diharapkan masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap keberhasilan usaha taninya. Sementara pola kemitraan dan developer sebaiknya tidak diterapkan secara dominan terhadap target luas HTR yang sudah menjadi program pemerintah,” tuturnya.
Ditambahkan ibu dua putra dan satu cucu ini, proses produksi pada pembangunan hutan tanaman, termasuk HTR, tidak akan memiliki arti jika dalam pengelolaannya tidak memasukkan aspek manajemen. Aspek manajemen yang dimaksud adalah strategi pengelolaan sumber daya hutan yang tepat sehingga tujuan efisiensi pengusaha dapat diwujudkan. Apabila tingkat efisiensi pengusaha tercapai, hasilnya akan optimal dengan terwujudnya kelayakan usaha. Di sinilah pemerintah dituntut berperan menjadi penyuluh andal dalam menjelaskan fenomena ekonomi tersebut kepada masyarakat peserta program HTR.
Beberapa aspek yang perlu disosialisasikan, antara lain, tentang nilai ekonomi sumber daya hutan, aturan main, dan waktu yang tepat untuk pemberian dana dan pengembalian kredit usaha tani. “Hal itu untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya penyimpangan penggunan dana yang dialokasikan. Apalagi sumber dana yang tersedia untuk rehabilitasi hutan saat ini sudah sangat terbatas, baik dalam kuantitas maupun tentang keberlanjutannya,” jelas istri Ir. H. Kusnarijanto, M.Si. ini.(Humas UGM/Ika)