Yogya, KU
Rencana munculnya pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang akan maju dalam pilpres mendatang ditengarai masih memerlukan upaya untuk membangun citra guna menghidupkan mesin politik di daerah. Hal tersebut terkait dengan masih adanya resistensi secara terbuka yang disampaikan partai-partai pendukung koalisi.
“Pasangan ini harus bekerja keras untuk mampu meraih kemenangan, terutama meraih simpati pemilih di luar Jawa. Tingkat elektabilitas pasangan SBY-Boediono masih membutuhkan mesin politik yang tangguh,” kata Dr. Abdul Gaffar Karim, staf pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Kamis (14/5) di kampus UGM, Yogyakarta.
Menurut penilaian Gaffar, pilihan SBY terhadap Boediono sebagai cawapres memang mengundang resistensi. Resistensi terutama terlihat berasal dari kalangan partai Islam, seperti PPP, PKS, dan PAN. Meski demikian, posisi sebagai incumbent menjadi keuntungan bagi pasangan SBY-Boediono untuk dapat sukses dalam pilpres mendatang.
Soal pilihan kursi cawapres, menurut Gaffar, SBY belajar dari pemerintahan yang dipimpinnya selama ini. Ia tidak mau pemerintahan yang terbentuk justru menjadi ladang pembesaran partai politik di luar Demokrat. Gaffar menilai, SBY adalah figur yang lebih memilih risiko terkecil dalam konflik antarpartai koalisi dan tidak ingin memberikan keuntungan kepada partai tertentu jika memilih cawapres dari kalangan partai.
“Saya tidak melihat pemilihan Boediono adanya investasi politik. Menghindari risiko, iya. Memilih orang profesional itu diharapkan bisa lebih independen dengan tekanan politik di parlemen,” kata Gaffar.
Mengenai kritik keras pasangan SBY-Boediono sebagai figur yang mengusung neoliberalisme, Gaffar menilai tidak akan banyak memiliki pengaruh signifikan. Menurutnya, para pengkritik umumnya hanya berhenti pada sebatas wacana dan tidak memberikan alternatif sistem ekonomi yang lebih baik.
“Kritikan terhadap pemerintahan yang menjalankan ekonomi neoliberalisme hingga kini tak memiliki daya tusuk yang kuat. Selalu kritiknya berhenti pada spanduk dan tidak menawarkan pilihan lain,” imbuhnya.
Mengenai reaksi keras dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Gaffar berpendapat bahwa partai yang tergabung dalam koalisi dengan Demokrat tersebut tidak memiliki kekuatan untuk menekan SBY. Hanya saja, sesuai dengan kalkulasi politik yang ada, partai Islam seperti PPP dan PAN tentu masih berharap memiliki posisi menteri di kabinet.
“SBY beserta Partai Demokrat memang tak perlu koalisi dengan partai manapun untuk syarat mendaftar pilpres, tapi di parlemen ia butuh mitra untuk mengamankan kepentingan. Itu tantangan yang perlu diselesaikan,” ujar Gaffar.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc., ketika dimintai pendapatnya mengatakan sosok Boediono sebagai cawapres SBY dapat memberikan kontribusi pemikiran ekonominya agar secara perlahan-lahan ekonomi Indonesia dapat kembali berdaulat dan mandiri. Meskipun untuk lima tahun ke depan, San Afri melihat pemerintah akan tetap menjalankan skenario ekonomi yang menjadi agenda World Bank dan IMF seperti yang tertera dalam letter of intent.
“Sebaiknya orang-orang jangan menjauh dari Boediono, terus menekan Boediono untuk terus mengambil posisi dan berjanji untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan sesuai demokrasi ekonomi Pasal 33 UUD 1945,” tuturnya.
Ditambahkan San Afri, dirinya dan kalangan kampus UGM akan terus mengawasi apabila gagasan ekonomi kerakyatan tidak dijalankan oleh Boediono nantinya. Apalagi Boediono merupakan salah satu guru besar dari UGM.
“Kita akan mempertanyakan keras. Karena Anda (Boediono) berasal dari kampus kerakyatan, apa yang bisa dilakukan untuk itu, tentunya dalam perspektif ekonomi kerakyatan,” jelasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)