Yogya, KU
Pemerintah harus bertanggung jawab untuk memelihara, mengembangkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik ekonomi, sosial, politik, hukum, kebudayaan, maupun aspek-aspek kehidupan lainnya.
Demikian salah satu dari lima butir deklarasi hasil Kongres Pancasila yang dibacakan oleh Ketua Panitia Kongres Pancasila, Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A.(K), di Balai Senat UGM, Senin (1/6), di hadapan seluruh peserta kongres.
Sutaryo menekankan negara juga harus bertanggung jawab untuk senantiasa membudayakan Pancasila melalui pendidikan Pancasila di semua lingkungan dan tingkatan secara sadar, terencana, dan terlembaga.
“Pancasila adalah dasar negara. Oleh karenanya, Pancasila harus dijadikan sumber nilai utama dan sekaligus tolok ukur moral bagi penyelenggaraan negara dan pembentukan peraturan perundang-undangan,” katanya.
Ditambahkannya, Pancasila merupakan sistem filsafat terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai dasar dan acuan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. “Dan oleh karenanya, segenap komponen bangsa Indonesia wajib menjunjung tinggi, menjaga, dan mengaktualisasikan Pancasila,” tandasnya.
Di samping itu, lanjut Sutaryo, Pancasila merupakan sistem nilai fundamental yang harus dijadikan dasar dan acuan oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokoknya melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar atas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
“Kesemua itu dalam rangka mewujudkan visi bangsa, yakni Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka, berdaulat, adil, dan makmur,” ujar Ketua Senat Akademik UGM ini.
Sementara itu, dalam draft kesimpulan rekomendasi hasil kongres bertajuk ‘Kesejahteraan Rakyat dan Perspektif Pancasila’ yang dibacakan oleh Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Drs. Agus Wahyudi, M.A., disebutkan bahwa negara harus melakukan nasionalisasi sektor-sektor yang memegang hajat hidup orang banyak dan meninjau ulang perjanjian-perjanjian ekonomi yang merugikan perekonomian nasional. “Perundang-undangan, peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan perda-perda yang berkaitan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya air, dan mineral hendaknya direvisi,” katanya.
Ditambahkan Agus, harus ada kebijakan politik pemerintah berdasarkan amanat konstitusi yang berpihak pada kesejahteraan rakyat dengan mengembangkan kebijakan ke arah negara kesejahteraan (welfare state). Hal itu dapat dilakukan dengan pengurangan ketergantungan pada utang luar negeri dan lebih fokus menciptakan kebijakan yang mendorong pertumbuhan untuk daerah dan wilayah terpinggirkan.
Selanjutnya, dalam rekomendasi filsafat Pancasila yang dibacakan oleh Drs. Djoko Pitoyo disebutkan bahwa Pancasila adalah suatu sistem yang berkadar filosofis. Sehubungan dengan itu, Pancasila senantiasa terbuka untuk didiskusikan, ditafsirkan, dikritik, dan sekaligus menjadi alat analisis kritis bagi ideologi-ideologi lain yang harus dikembangkan secara terus-menerus oleh segenap komponen bangsa dengan menghindari dominasi dan hegemoni pihak tertentu.
“Seyogianya masyarakat dan media massa juga proaktif mendirikan kelompok-kelompok kajian atau diskusi menjaga dan mengembangkan Pancasila,” katanya.
Dalam rekomendasi ‘Nasionalisme dalam Perspektif Pancasila’ yang dibacakan oleh drh. R.S. Herlambang, D.K.S., salah seorang tokoh masyarakat, berisi perlunya dilakukan pengembangan politik komunikasi, khususnya bagi media massa yang memiliki komitmen kebangsaan dan mampu mendidik anak bangsa untuk mempunyai wawasan kebangsaan serta jiwa nasionalisme. Di samping itu, juga perlu dilakukan peninjauan seluruh produk perundang-undangan yang tidak sesuai dengan Pancasila dan nasionalime Indonesia melalaui judicial review.
Dalam kesempatan itu, Dekan Fakultas Filsafat UGM, Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin, juga membacakan rekomendasi ‘Relasi Agama dan Negara’ yang menyebutkan regulasi harus dikembangkan oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan beragama dan berkeyakinan tanpa harus mencampuri wilayah agama dan keyakinan yang bersifat individual.
“Negara harus memfasilitasi kebutuhan warga negara untuk menjalankan agama dan keyakinan serta kepercayaannya sehingga diperlukan pengembangan pendidikan agama dan pelaksanana nilai-nilai keagamaan yang berwawasan multikultural,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)