Jumlah desa yang mencapai sekitar 75 ribu dan tersebar di berbagai pulau, upaya pembangunan wilayah pedesaan di Indonesia menjadi tanggung jawab yang tidak mudah. Dalam hal ini, perguruan tinggi sebagai institusi keilmuan bisa menjadi mitra bagi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) yang diberi amanah untuk mengawal rencana pembangunan wilayah pedesaan.
“Indonesia punya hampir 75 ribu desa, dan kami tidak mengerti kondisi tekstual masing-masing desa. Kalau data belum klir yang kita bangun ya one size fits all. Itu memang paling gampang, tapi tidak bisa mengetahui sebetulnya kenapa desa itu tertinggal, dan kira-kira leverage apa yang diperlukan,” ujar Sekretaris Jenderal Kemendesa, Anwar Sanusi, Kamis (10/11) di Pusat Inovasi Agro Teknologi (PIAT) UGM di Kalitirto, Sleman.
Hal ini ia sampaikan saat membuka focus group discussion Forum Perguruan Tinggi untuk Desa (PERTIDES) yang menghadirkan perwakilan dari sebelas perguruan tinggi serta instansi-instansi terkait. PERTIDES sendiri merupakan forum yang didirikan pada bulan Juli silam sebagai wujud dukungan perguruan tinggi terhadap program-program dari Kemendesa PDTT. Kesebelas perguruan tinggi yang terlibat yaitu Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjajaran, Universitas Andalas, Universitas Pembangunan Veteran Jatim, Universitas Trunojoyo, Universitas Mataram, Universitas Halu Uleo, Universitas Cendrawasih, Universitas Sultan Agung, Universitas Borneo Tarakan, Universitas Brawijaya, serta Institut Pertanian Bogor.
Sebagai perkumpulan orang-orang berpengetahuan, menurut Anwar, perguruan tinggi memiliki kompetensi yang diperlukan untuk dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah agar dapat menghasilkan kebijakan yang memang sesuai dengan konteks dan kebutuhan masyarakat.
“Terkadang sulit untuk membedakan gejala dan akar masalah. Kita sering menangkap gejala, tapi kita harus mengerti akar masalahnya. Kami ingin di forum ini dapat membangun input dan memberikan informasi, sebenarnya masalahnya seperti apa,” imbuhnya.
Terkait implementasi dari UU Desa, Anwar mengakui bahwa di balik berbagai peluang yang ada masih juga terdapat beragam tantangan yang harus dipahami serta diatasi dengan cermat agar tidak berubah menjadi sesuatu yang merugikan.
“Namanya universitas selain sebagai kumpulan para cendekiawan juga adalah orang-orang yang berpikir kreatif bagi kebaikan masyarakat dengan menghasilkan teknologi yang diperlukan. Kami ingin sampai 2019 ada 15 ribu desa yang bisa diintervensi, maka mari kita sama-sama bisa memetakan hal ini,” jelasnya.
Sementara itu, dalam sambutannya, Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., menyatakan kesiapan UGM untuk mendukung pengembangan desa. Hal ini, menurutnya, sejalan dengan semangat berdirinya UGM sebagai universitas kerakyatan.
“Dulu untuk membuktikan kedaulatan Indonesia maka didirikanlah perguruan tinggi yaitu UGM. Saat ini pun untuk mewujudkan kedaulatan Indonesia dalam melawan kemiskinan, sekali lagi peran perguruan tinggi sangat dibutuhkan,” tuturnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, UGM telah menjalankan program pembangunan desa sejak lebih dari 30 tahun yang lalu melalui program KKN yang diinisiasi oleh Prof. Koesnadi, Rektor UGM saat itu. Hingga kini, peran nyata UGM senantiasa ditunjukkan baik melalui program KKN yang terus berlanjut maupun melalui berbagai riset penting yang dikerjakan.
“Kita perguruan tinggi melawan kemiskinan bukan dengan senjata perang. Senjata kita adalah intelektual, yaitu dengan riset dan kegiatan pengabdian,” imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Rektor ITB yang juga menjadi Ketua PERTIDES, Prof. Dr.Ir. Kadarsah Suryadi, mengajak kesebelas perguruan tinggi yang hadir untuk dapat menjadi penggerak bagi perguruan tinggi lain untuk turut menunjukkan kontribusi bagi pembangunan pedesaan.
“Saya harap perguruan tinggi dan kementerian dapat membuat satu grand design seperti apa yang telah dirintis UGM 30 tahun yang lalu dan masih berjalan sampai sekarang,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)