Dra. Sri Danti, M.A., Deputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, mengatakan sebagai pemimpin, baik laki-laki maupun perempuan, hendaknya memiliki perspektif gender. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah pemimpin yang memahami adanya berbagai bentuk diskriminasi gender di masyarakat dalam berbagai aspek. Pemimpin harus sensitif terhadap perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam berbagai kelompok masyarakat dengan status ekonomi, sosial, dan usia yang beragam. Di samping itu, pemimpin juga harus dapat memahami bahwa di Indonesia masih terjadi kesenjangan dalam pencapaian pembangunan.
“Pemimpin yang berperspektif gender harus bisa mengakomodir kepentingan laki-laki dan perempuan di berbagai sektor pembangunan. Kebutuhan, pengalaman, serta aspirasi keduanya tidak bisa disamakan begitu saja karena mereka itu berbeda,” kata Sri Danti dalam Seminar Nasional “Kepemimpinan yang Berperspektif Gender”, Kamis (18/6).
Dalam acara yang digelar oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UGM ini, Sri Danti mengemukakan kesetaraan dan keadilan gender belum sepenuhnya terwujud di Indonesia. Adanya ketidaksetaraan gender, salah satunya disebabkan pengaruh nilai-nilai sosial budaya di masyarakat. Ideologi gender yang berlaku di masyarakat mengakibatkan terjadinya dominasi oleh satu pihak sehingga menimbulkan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Karena permasalahan budaya tersebut, kedudukan perempuan dianggap kurang berharga dan hanya menjadi masyarakat kelas dua setelah kaum laki-laki.
Dalam berbagai aspek kehidupan, perempuan pada umumnya mendapatkan posisi yang kurang menguntungkan. Dalam pembangunan, perempuan masih memiliki keterbatasan akses, peluang, partisipasi, dan kontrol. Untuk itu, tambah Sri Danti, dibutuhkan suatu program pemberdayaan perempuan guna meningkatkan motivasi, kemampuan, dan mengejar ketertinggalan sehingga menjadi sumber daya potensial yang teruji. Selain itu, diperlukan juga adanya keberpihakan kepada kelompok yang tertinggal, seperti kaum difabel, masyarakat miskin, dan anak-anak.
Disampaikan Sri Danti, selama ini pemimpin berperspektif gender belum begitu familiar, bahkan belum ada bentuknya. Dengan adanya pemimpin yang berperspektif gender, ke depan diharapkan ada suatu rumusan kebijakan yang berperspektif gender pula. Dengan demikian, perempuan dapat mengaktualisasikan diri berperan dalam pembangunan, mendapat akses yang sama, dan merasakan manfaat yang adil di masyarakat. “Apabila tidak ada kebijakan yang mengatur hal tersebut, maka kesetaraan gender tidak akan pernah terwujud, dan kesetaraan gender bukanlah sebuah tujuan akhir, namun merupakan jalan untuk mencapai pembangunan nasional,” tandasnya.(Humas UGM/Ika)