Pada umumnya, remaja dengan cacat fisik memiliki permasalahan yang terkait dengan konsep/kepercayaan diri dan kemandirian yang rendah. Hal tersebut disebabkan salah satunya oleh masih adanya diskriminasi dalam masyarakat terhadap penyandang cacat fisik. Diskriminasi menjadi kendala bagi mereka dalam proses penyesuaian diri untuk berperan aktif di masyarakat dan lingkungan. Untuk mengatasi persoalan itu, remaja cacat fisik seharusnya menerima pembinaan psikososial agar menjadi pribadi yang matang.
“Layanan rehabilitasi penyesuaian sosial/psikososial terbukti efektif untuk meningkatkan konsep diri, kemandirian, dan penyesuaian diri remaja cacat fisik,” kata Dra. Fransisca Iriani Roesmala Dewi, M.Si., staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara saat ujian promosi doktor di Fakultas Psikologi UGM , Kamis (9/7).
Di hadapan para penguji, Prof. Dr. Bimo Walgito selaku promotor, Prof. Dr. M. Enoch Markum dan Prof. Th. Dicky Hastjarjo, Ph.D. sebagai ko-promotor, Fransisca menuturkan bahwa program rehabilitasi psikososial dijadikan prioritas utama dalam upaya proses integrasi sosial, peran sosial yang aktif, dan peningkatan kualitas hidup remaja cacat fisik. Di samping itu, rehabilitasi psikososial juga memberikan kesempatan yang luas untuk magang dalam dunia kerja.
Hingga saat ini, lanjut wanita kelahiran Bojonegoro, 7 April 1962 ini, kebijakan pemerintah terkesan timpang dan masih menganggap remaja cacat fisik berada pada posisi marjinal. Padahal, remaja cacat fisik merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang juga memiliki hak sama atas kehidupan bernegara dan bermasyarakat karena konstitusi tidak mengenal diskriminasi. Marjinalisasi terjadi akibat rendahnya aksesibilitas di berbagai bidang, seperti pendidikan, pekerjaan, dan fasilitas umum.
“Meskipun dukungan legalisasi telah ada, seperti UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat serta implementasi dari pencanangan dasawarsa tunadaksa Asia Pasifik, namun keterlibatan atau peran serta tunadaksa dalam masyarakat masih jauh dari yang diharapkan,” ujarnya.
Dalam disertasi berjudul “Rehabilitasi Psikososial: Pembentukan Konsep Diri dan Kemandirian Remaja Cacat Fisik”, dijelaskannya bahwa dukungan keluarga, khususnya orang tua, sangat dibutuhkan dalam pembentukan konsep diri dan mencapai kemandirian. Pendekatan psikologis dan emosional orang tua anak dapat menjadi motivator yang kuat menuju kemandirian. Keluarga yang dapat menerima kecacatan anaknya dan memaksimalkan fungsinya akan membantu anak menumbuhkan motivasi dan kepercayaan diri dalam mencapai kemandirian. Selain itu, penting juga untuk tidak memberikan perlakuan diskriminatif dari anggota keluarga, tambah istri Ignatius Kristi Rutyanta dan ibu Ignatia Eka Puspita ini.(Humas UGM/Ika)