Selama ini politik selalu didefinisikan dari sisi androsentris, patriarki, sehingga perempuan mengalami ketidaksamaan secara struktural. Kekuasaan menjadi domain laki-laki. Konsekuensinya, terdapat perbedaan dalam mengakses sumber-sumber daya yang ada. Di lembaga politik, perempuan akhirnya mengalami eksklusi dan menjadi kurang terepresentasi dalam berbagai perumusan kebijakan.
Demikian dikemukakan oleh Dra. Dwi Windyastuti Budi Hendrarti, M.A., staf pengajar Fisip Universitas Airlangga, dalam ujian terbuka promosi doktor di Ruang Seminar Fisipol UGM, Sabtu (11/7). Lebih lanjut dikatakan oleh Windyastuti, telah banyak cara yang ditempuh untuk mempromosikan inklusi perempuan dalam institusi politik. Namun, perjuangan untuk memperkuat representasi perempuan kebanyakan hanya berujung pada upaya yang berorientasi pada kehadiran fisik daripada yang bersifat substantif. “Padahal politik presence atau kehadiran tidak selalu menjamin terepresentasikannya kepentingan perempuan,” ujar promovendus kelahiran 27 September 1961 ini.
Dalam disertasi berjudul “Politik Representasi Perempuan: Advokasi Kebijakan Perlindungan Perempuan”, Windyastuti menyampaikan dengan mengonsepsikan representasi perempuan dari aspek substantif menjadi salah satu parameter dalam mengukur reperesentasi perempuan untuk mengatasi ketidakefektifan konsepsi representasi yang berorientasi politik presence. Wakil perempuan tidak selalu melihat dirinya sebagai “acting for” perempuan sehingga representasi oleh gender perempuan tidak selalu memiliki relasi yang bisa diprediksi mendukung kepentingan substantif perempuan.
Perjuangan memasukkan perempuan ke dalam ranah politik dan pemerintahan bertolak dari politik yang malestream, yakni sebuah perjuangan yang dilandasi arus pemikiran berpusat pada laki-laki dan maskulinitas. ”Oleh sebab itu, perjuangan untuk melawannya adalah dengan cara meninggalkan gerakan yang bersifat adversial dan semakin mengedepankan strategi perjuangan berbasis kemitraan, menghindarkan dikotomi laki-laki versus perempuan, dan justru memerankan laki-laki sebagai aktivis gerakan perempuan,” terangnya.
Mekanisme metafisika kehadiran perempuan yang lebih menggambarkan situasi pembuatan keputusan, imbuh Windyastuti, diperlukan untuk membangun kembali kerangka perjuangan representasi perempuan. Fungsi advokasi feminis paling efektif saat fungsi tersebut terkait dengan proses pembuatan kebijakan. Dengan demikian, untuk melahirkan representasi perempuan yang substantif, advokasi kebijakan dengan membawa isu gender dalam kebijakan publik merupakan elemen mendasar. Pada proses ini, aktor dapat memahami sebab dan mencari solusi tentang persoalan gender.
Dalam penelitian yang dilakukan Windyastuti di DPRD Jawa Timur, isu advokasi kebijakan yang mencerminkan upaya memperkuat representasi perempuan salah satunya melalui proses perumusan Perda Jawa Timur No. 9 Tahun 2005 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Advokasi kebijakan perlindungan perempuan menjadi perda digunakan sebagai leverage point untuk melihat problem perempuan yang lebih luas, yakni persoalan ketimpangan gender pada kasus kekerasan.
Strategi dasar yang diadopsi dalam advokasi kebijakan ini adalah mengikat negara untuk bertanggung jawab menyelenggarakan perlindungan perempuan yang menjadi korban tindakan kekerasan. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa yang diprovokasi oleh koalisi feminis mengenai kesetaraan gender bukanlah sisi legislatifnya, melainkan eksekutif. Proses transformasi penyadaran bahwa suatu kekerasan berbasis gender pada mereka yang resisten tidak bekerja dengan efektif.
Tidak berubahnya nilai pada wakil yang memiliki otoritas merepresentasikan kepentingan perempuan di arena kebijakan menunjukkan usaha advokasi yang dijalankan tidak menyentuh pada upaya untuk merekonstruksi pemahaman gender di legislatif. Dituturkan ibu tiga putra ini, “Tidak adanya perubahan ini mengindikasikan bahwa institusi politik sebagai bagian yang ikut mengabadikan ideologi gender, politik yang patriarkis dan maskulinis.” (Humas UGM/Ika)