Di balik hiruk-pikuk pergantian pucuk pemerintahan dari Presiden Megawati Sukarnoputri ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tempo hari, telah terjadi perubahan acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Perubahan tersebut sifatnya sangat mendasar, namun luput dari perhatian publik. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang isi dan semangatnya sangat pro-daerah, digantikan oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004 yang isi dan semangatnya lebih pro-pusat. Hal tersebut dikemukakan oleh Dr. Purwo Santoso pada Seminar Bulanan PSPK UGM Yogyakarta, 2 Desember 2004.
“Yang santer diwacanakan oleh masyarakat adalah revisi terhadap UU 22/1999 namun yang sebetulnya disyahkan adalah pencabutan dan pergantian UU tersebut. Issue sentral yang mewarnai pewacanaan ‘revisi UU 22/1999’ waktu itu adalah pemilihan kepala daerah secara langsung yang diasosiasikan dengan demokratisasi di daerah. Memang, pemilihan kepala daerah diatur secara cukup rinci dalam undang-undang baru tersebut, namun cakupan merambah ke berbagai aspek,” ungkap Purwo.
Menurut Dosen Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, FISIPOL UGM ini, yang sebetulnya penting untuk dicermati adalah sifat atau derajat perubahan yang dicanangkan dalam UU baru. Misi desentralisasi secara besar-besaran yang terknadung dalam UU 22/1999 mengalami peredaan atau pedangkalan, dan misi demokratisasi dalam arti pemberian peran lembaga perwakilan rakyat juga dimoderatkan. Perumus UU 22/1999 membayangkan daerah sebagai sub-sistem yang otonom untuk mengembangkan pelayanan publik dan demokrasi dalam fasilitasi pemerintah pusat. Ekspresi otonomi daerah yang terjadi selama implementasi UU 22/1999 telah merepotkan pemerintah pusat. Pengalaman sulit mengimplementasikan UU tersebut telah menjadi alasan untuk melakukan deradikalisasi otonomi daerah UU 32/2004 sarat dengan muatan itu.
“Dalam kerangka fikir UU pemerintahan daerah yang baru, konsep daerah dimaknai secara birokratis. Daerah diperankan sebagai sub-sistem untuk mencapai tujuan yang telah didefinisikan dari pusat. Gagasan bahwa propinsi bukan atasan daerah otonom yang berotonomi sangat luas, ditiadakan oleh UU baru ini. Daerah dengan mudah dipatuhkan oleh pemerintah yang lebih tinggi,” tutur Purwo.
Kata Purwo Santoso upaya mengkondisikan pemerintah daerah patuh pada pemerintah yang lebih tinggi dan pemerintah pusat dapat diamati dari: Pertama, lembaga legislatif didudukkan sebagai unsur pemerintahan daerah. Maknanya, tanggung-jawab penyelenggaran pemerintahan terdistribusi di jajaran lembaga eksekutif maupun legislatif. Kalau para wakil rakyat yang ada di DPRD membuat keputuan yang dipandang tidak sesuai dengan keputusan yang dipandang tidak sesuai dengan keputusan pemerintah yang lebih tinggi, maka keputusan para wakil rakyat tersebut bisa dibatalkan (dicegah untuk diimplementasikan). Kedua, kepala daerah tidak mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada wakil rakyat. Hal ini dibarengi dengan dikedepankannya keharusan pemerintah yang lebih tinggi melakukan pengawasan preventif. Peraturan-peraturan daerah yang dianggap strategis (Perda tentang APBD, tata ruang, pendapatan) harus mendapatkan pengesahan pemerintah yang lebih tinggi sebelum diundangkan. Strategi semacam ini dipraktekkan di masa Orde Baru dan berhasil memastikan kepala daerah lebih loyal (baca: takut) kepada pemerintah yang lebih tinggi. Ketiga, penyelenggaraan pemerintahan daerah harus mengacu pada sistem perencanaan pembangunan dan sistem keuangan negara dimana simpulnya ada di eksekutif tingkat nasional. Daerah harus membuat rencana jangka panjang untuk dijabarkan ke dalam rencana jangka menengah dan rencana tahunan, namun rencana-rencana tersebut hanya bisa dijalankan setelah diintegrasikan dengan perencanaan nasional. Keempat, pemilihan kepala daerah secara langsung memang mencitrakan demokratisasi. Hanya saja perlu diingat bahwa usulan kebijakan yang disiapkan pemerintah daerah pada gilirannya haus tunduk pada kebijakan jangka panjang yang sudah dibakukan dalam dokumen perencanaan. Pemilihan kepala daerah secara langsung memungkinkan ada kepala daerah yang mendapatkan dukungan sangat luas dari masyarakat namun sebetulnya hanya pelaksanaan ide-ide yang telah dibakukan sebelah sebelumnya dalam kendali pemerintah pusat.
“Undang-undang 32/2004 memang tidak secara eksplisit melakukan resentralisasi namun deradikalisasi otonomi daerah dan deradikalisasi demokrasi yang berlangsung pelan-pelan bisa mengamtarkan kembalinya dominasi pemerintah pusat yang siap mengeksekusi agendanya tanpa direpotkan oleh daerah,” tegas Purwo Santoso.