Halaebili dan ehabla merupakan bentuk puisi lisan Sentani yang semakin jarang ditemukan. Kedua lantunan ini hanya dikuasai oleh generasi tua yang semakin sedikit jumlahnya.
Halaebili, secara harafiah berarti “tangisan†atau “ratapan†dilantunkan ketika ada kematian di masyarakat Sentani, Jayapura, Papua. Lantunan ini mengisahkan kehidupan orang yang meninggal semasa hidupnya. Sedangkan, ehabla merupakan bentuk puisi lisan masyarakat Sentani lainnya yang bersifat lebih gembira.
“Ehabla sering dilantunkan pada acara-acara, seperti upacara adapt, pelantikan ondofolo (kepala adapt), pelantikan kepala suku, pemugaran kuburan, pembukaan kebun dan lain-lain. Biasanya ehabla, menceritakan sejarah perpindahan kampung, asal-usul suatu suku, perang suku, dan peristiwa-peristiwa sehari-hari lainnya, misalnya percintaan, kehidupan rumah tangga, pembukaan kebun dan perburuan,†ujar Dra Wigati Yektiningtyas MHum, Senin (28/1) di Sekolah Pascarjana UGM.
Dosen Universitas Cenderawasih mengungkapkan hal itu, saat melaksanakan ujian terbuka program doktor bidang sastra UGM dengan mempertahankan desertasi “Helaehili dan Ehabla: Fungsinya dan Peran Perempuan Dalam Masyarakat Sentani, Papuaâ€. Promovenda didampingi promotor Prof Dr Rachmat Djoko Pradopo dan kopromotor Prof Dr Imran T Abdullah serta Prof Dr C Soebakdi Soemanto.
Kata Wigati, salah satu substansi yang diekspresikan, baik secara eksplisit maupun implisit dalam helaehili dan ehabla adalah keberadaan perempuan. Menurutnya, perempuan Sentani adalah pekerja keras yang memberi kontribusi besar pada hampir setiap aspek kehidupan rumah tangga, namun keberadaannya sering tidak mendapat perhatian yang proporsional.
“Dengan menggali esensi lantunan helaehili yang mengisahkan kehidupan seorang yang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan, dari masa muda sampai akhir hayatnya, diharapkan bisa mengungkapkan kehidupan masyatakat Sentani secara keseluruhan pada umumnya dan keberadaan perempuan pada khususnya,†ujarnya lagi.
Perempuan Sentani yang dimitoskan sebagai kani (bumi) memiliki peran yang sangat kompleks. Peran ini dipengaruhi oleh pandangan adapt (tradisi) masyarakat Sentani serta kedudukan mereka di masyarakat.
Secara reproduktif, perempuan adalah seorang yonelau, yang mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, mendidik anak. Secara produktif, perempuan adalah tenaga kerja (work labor) dan penghasil makanan (food producer) melalui bekerja di kebun, danau dan di dusun sagu.
“Disamping itu, perempuan disana juga menunaikan peran-peran publik. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa baik peran reproduktif maupun produktif perempuan ditujukan untuk mendukung keberadaan suami/laki-laki di masyarakat,†tutur alumnus S2 pengkajian Amerika UGM 1996-1998 ini.
Penelitian Wigati Yektiningtyas menyimpulkan pula, bahwa perempuan lebih banyak bekerja dibandingkan laki-laki, karena laki-laki dituntut menunaikan pekerjaan yang sifatnya gotong royong (pulau ehamokoi) yang tidak dilakukan setiap hari, dari pagi sampai malam. Bahkan, kini dengan semakin sempitnya lahan berkebun dan menipisnya sumberdaya alam, menjadikan perempuan di masyarakat tradisional harus bekerja lebih keras dibandingkan perempuan dari generasi sebelumnya.
“Kematian seorang perempuan dalam keluarga, berarti hilangnya yonelau, tenaga kerja (work labor) dan penghasil makanan (food producer), dan agen pendukung suami/ laki-laki. Sebagai tokoh sentral dalam keluarga, maka kematian seorang perempuan mempengaruhi kehidupan keluarga dan masyarakat,†tambah alumnus Sastra Inggris UGM, 1978-1981 ini.
Menurut istri James Modouw, ibu empat anak, Bintang Putra Melanes Modouw, Tesa Larasati Modouw, Lisa Jati Larasbudi Modouw dan Sasha Mesabia Pramudhita Modouw lantunan helaehili dan ehabla sebagai produk sosial masyarakat Sentani perlu dilestarikan, karena lantunan ini mengungkapkan nilai-nilai sosial moral yang dapat digunakan media pendidikan masyarakat, serta cermin untuk melihat dinamika sosial budaya masyarakat Sentani.
Luntur dan longgarnya nilai-nilai sosial dan adat yang banyak terjadi di kampung dekat kota ini, dikhawatirkan akan menular kepada masyarakat lain yang tinggal di pulau-pulau terpencil. Oleh karena itu, perlu ditekankan pentingnya pelestarian helaehili dan ehabla serta sosialisasi nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya melalui pengajaran di sekolah-sekolah, menyelenggarakan dramatisasi pementasan pelantunan dan perlombaan pelantunan dengan tanpa mengurangi kekhasan pelantunan, yaitu spontanitas.
“Dengan demikian diharapkan dapat dijadikan media pembelajaran kembali bahasa Sentani, seiring dengan kenyataan semakin jarangnya penggunaan bahasa Sentani terutama oleh generasi muda dan masyarakat yang tinggal di dekat kota,†tandas perempuan kelahiran Cilacap 14 September 1962 ini, yang dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude. (Humas UGM).