Dewasa ini UGM sebagai Universitas Perjuangan, Universitas Kerakyatan serta nama-nama lain yang berkaitan dengan jati dirinya, ternyata belum terlalu berhasil melaksanakan amanat pemerintah maupun meneladani para pendirinya mengembangkan dan mengamalkan nilai-nilai dasar bangsa. Upaya-upaya sistematis untuk lebih meningkatkan pemahaman dan penghayatan nilai-nilai dasar tersebut oleh segenap warga UGM dan pengamalannya dalam melaksanakan misi Tridharma harus terus diupayakan. Lunturnya jati diri UGM dalam kiprahnya pelaksanaan dharma pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, sebagian disebabkan karena warga UGM khususnya, dan warga akademik Indonesia umumnya, tanpa sadar selalu “mengekor” perkembangan ilmu-ilmu yang berasal dari negara barat. Erosi jati diri UGM menjadi bertambah cepat akibat pelaksanaan spesialisasi ilmu yang terlalu awal dan terlalu jauh. Demikian diungkapkan Rektor UGM, Prof. Dr. Sofian Effendi dalam Orasi Ilmiah berjudul “Revitalisasi Jati Diri Universitas Gadjah Mada Menghadapi Perubahan Global” pada Puncak Dies Natalis UGM ke-55”, 19 Desember 2004 di Auditorium Grha Sabha Pramana UGM .
“Kita mungkin dapat menarik pelajaran dari percakapan Prof. Sardjito dengan seorang tamunya dari Amerika Prof. Thayer mengenai bahaya spesialisasi ilmu yang berlebihan: ‘In your country, as well as in mine, it is being realized that too strong a trend toward specialization may be a dangerous thing for society. It is to be noted that an educational program devoted almost exclusively to specialization is likely to have the effect of separating people from people, not of bringing them together’ (Mubyarto, 2004: 160),” ungkap Prof. Sofian.
Agar UGM tidak terperosok kembali pada jebakan overspesialisasi ilmu, menurut Rektor, harus berani menerapkan pendekatan interdisipliner dan transdisipliner dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan demikian akan dapat diperoleh manfaat sinergis yang lebih besar, bukan saja untuk ilmuwan dan praktisi, tetapi juga bagi masyarakat dan bangsa. “Untuk memfasilitasi tercapainya manfaat sinergis tersebut, proses pembelajaran harus berubah, dari metode konvensional “banking education” menjadi “problem-posing education” yang lebih merangsang kreativitas mahasiswa. Pada metode pertama dosen hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada mahasiswa dan mahasiswa hanya pasif mendengar. Melalui metode kedua mahasiswa dilatih untuk selalu berhadapan dengan masalah nyata yang dicoba dipecahkan bersama-sama oleh dosen dan mahasiswa,” tutur Rektor.
Prof. Sofian mengemukakan bahwa Revitalisasi jati diri UGM merupakan totalitas dari nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, kerakyatan, persatuan bangsa, dan keadilan sosial, merupakan momentum historis yang penting bagi UGM pada usianya yang ke-55 tahun. Dalam kondisi bangsa Indonesia sedang dilanda berbagai krisis yang nyaris menenggelamkan jati diri bangsa, UGM harus berdiri di garis depan mempelopori upaya penyusunan pemikiran-pemikiran keilmuan yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. “ ‘Pemikiran Bulaksumur’ dalam semua disiplin ilmu dan dalam semua bidang yang menyentuh kehidupan rakyat adalah konkret kita untuk menempuh jalan lain yang tidak semata-mata merupakan foto-kopi dari pemikiran negara maju dan dengan memperhatikan keadaan dunia serta prediksi masa depan. Hanya dengan keberanian untuk memerdekakan diri dari pasungan pemikiran bahwa ilmu pengetahuan adalah universal dan value free, kita seluruh warga UGM akan mampu mengemban amant dan memenuhi harapan para pendiri agar lembaga ini selalu menjadi sumber inspirasi bagi rakyat sebagaimana disampaikan oleh Presiden Soekarno pada upacara peresmian Gedung Pantjadharma yang lebih dikenal sebagai Gedung Pusat UGM.
“Saya sependapat dengan Profesor Mubyarto bahwa penempatan kata ‘kemerdekaan’ sampai 7 kali pada Pembukaan UUD 1945 bukanlah tanpa makna, tetapi ingin menunjukkan bahwa bangsa Indonesia di atas segalanya amat menghargai kemerdekaan dalam segala bidang, termasuk kemrdekaan berfikir. Marilah kita hayati betul semangat kemerdekaan tersebut, kita merdekakan pemikiran-pemikiran kita dari pasungan sindrom ‘the very value of secularity’ dan ‘barberic spesialization’ agar warga UGM, mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran keilmuan yang cemerlang yang dijiwai oleh nilai-nilai perjuangan yang diamanatkan oleh para pendiri perguruan tinggi kebanggaan bangsa Indonesia,” tegas Prof. Sofian.
(Humas UGM)
LAPORAN TAHUNAN REKTOR UGM
Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kualitas input. Oleh karena itu guna memperoleh calon mahasiswa yang berkualitas, universitas mengembangkan berbagai alternatif program penjaringan mahasiswa baru, yaitu: (i) program Penelusuran Bibit Unggul yang terdiri atas, Penelusuran Bibit Unggul Tidak Mampu, Penelusuran Bibit Unggul Berprestasi, Penelusuran Bibit Unggul Pembangunan Daerah; (ii) ujian tulis UGM dan (iii) Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Demikian Laporan Tahunan Rektor UGM, yang dibacakan Wakil Rektor Senior Bidang Akademik, Prof. Dr. Sudjarwadi, M. Eng., Ph.D pada hari Senin, 20 Desember 2004 di Grha Sabha Pramana UGM.
“Pada saat yang sama Universitas terus berupaya memperbaiki penerapan biaya pendidikan berkeadilan. Konsep ini dimaksudkan agar subsidi yang disediakan oleh pemerintah tepat sasaran. Melalui cara semacam ini, masyarakat yang berkelebihan menanggung biaya pendidikan diatas rata-rata, sementara masyarakat yang berkemampuan sedang akan menanggung biaya pendidikan sebesar biaya per satuan mahasiswa, dan bagi masyarakat yang kurang mampu akan memperoleh subsidi dan pemberian berbagai beasiswa,” ungkap Prof. Sofian dalam buku laporannya.
Dalam upaya perbaikan, menurut Rektor, perlu dilaporkan bahwa rerata lama studi mahasiswa S-1 pada tahun 2003 adalah 5,69 tahun bidang eksakta dan 5,33 tahun bidang non eksakta, tahun 2004 lebih pendek untuk bidang non-eksakta menjadi 5,34 tahun dan relative stabil untuk bidang eksakta 5,34 tahun. Indeks prestasi kumulatif lulusan meningkat dari 3,1 pada tahun 2003 menjadi 3,15 pada tahun 2004. Jumlah mahasiswa baru jenjang S-1, S-2 dan S-3 menurun masing-masing drai 7.078 dan 3.192 orang pada tahun 2003 menjadi 6.383 dan 2.488 pada tahun 2004. Penurunan diatas, terutama program S-2 dan S-3 tidak terjadi dimasa mendatang sesuai target universitas pada tahun 2007 jumlah mahasiswa pasca sarjana 30 % dari total mahasiswa.
Dalam Laporan Tahunan Rektor yang dibacakan Prof. Sudjarwadi dikemukakan pula bahwa untuk memperbaiki proses pembelajaran, UGM telah mengembangkan Program Peningkatan Pertumbuhan Kepemimpinan Berkualitas (PPKB) sejak tahun 2003 dan menampakkan hasil dengan terbentuknya critical mass menuju pengembangan system dan kultur inovasi pada dosen, karyawan dan mahasiswa melalui program-program yang diimplemetasikan yaitu: (i). Pengembangan success skills, (ii). Pengembangan manajemen pembelajaran, (iii). Innovation grants, dan (iv). Pemberdayaan mahasiswa berprestasi. Program success skills misalnya, telah berhasil dilatih seluruh mahasiswa angkatan 2003 dan 2005 sebanyak 14.000 orang. “Selanjutnya Pelatihan tersebut diharapkan dapat memberikan modal sukses bagi mahasiswa baru dalam mengikuti proses belajar mengajar dan berkehidupan social selama di UGM dan bekal brmasyarakat di masa depan. Program PPKB merupakan upaya UGM untuk mengintensifkan transfer nilai-nilai etika dan sikap mental dalam proses pembelajaran sebagai bagian penting dari soft skill yang dibutuhkan dalam bermasyarakat,” tutur Prof. Sofian.
(Humas UGM)