Belajar dari berbagai peristiwa bencana geologi (gempa, tsunami, letusan gunung api, tanah longsor dan banjir) yang telah terjadi di wilayah Indonesia, nampak bahwa upaya pencegahan, pengendalian, hingga langkah kesiap-siagaan (termasuk pula upaya peringatan dini) pada tahap sebelum terjadinya bencana (pra-bencana) relatif masih lemah atau kurang efektif. Karena lemahnya persiapan pada tahap pra-bencana ini, maka tahapan-tahapan manajemen bencana berikutnya, yaitu tahap saat bencana hingga pasca bencana, menjadi sangat sulit dilakukan. Hal tersebut diungkapkan Dr. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc dalam release yang disampaikan ke Humas UGM, Senin 3 Januari 2005.
Menurutnya, langkah untuk mencegah atau meminimalkan korban dan kerugian mutlak harus dilakukan pada tahap sebelum bencana, yaitu identifikasi daerah rentan bencana geologi disertai upaya diseminasi/sosialisasi daerah rentan bencana geologi disertai dengan penerapan peraturan pengembangan/ pembangunan wilayah secara ketat, pembelajaran untuk pemberdayaan masyarakat dan aparat di wilayah rentan bencana geologi, pemantauan secara terus-menerus di daerah rentan bencana untuk memperkuat system peringatan dini, serta penerapan berbagai teknologi sederhana dan tepat guna untuk pemantauan gejala awal bencana, termasuk pula pengendaliannya.
Ketua Jurusan Teknik Geologi UGM mengemukakan pula bahwa sebenarnya langkah identifikasi daerah rentan bencana geologi sudah dilakukan di wilayah Propinsi DIY, mulai dari puncak G. Merapi hingga di sepanjang wilayah pantai selatan DIY. Misalnya dari hasil penelitian yang dilakukan Jurusan Teknik Geologi UGM tahun 1998 – 2000, teridentifikasi bahwa beberapa wilayah di Pantai Selatan DIY rentan mengalami longsor dan reruntuhan batuan, banjir, gempa dan tsunami. Dari hasil penelitian tersebut maka disusun suatu peta rekomendasi untuk pengembangan wilayah pantai selatan, yang telah diserahkan pula ke beebrapa instansi yang berwenang. “Upaya ini tentunya perlu ditindak lanjuti dengan upaya sosialisasi, implementasi penataan ruang/ penerapan dan penegakan peraturan/ hukum, pembelajaran/ pemberdayaan masyarakat dan aparat, pemantauan hingga penerapan sistem peringatan dini dan teknologi pengendalian bencana,” tuturnya.
Ditambahkannya, belajar dari kejadian bencana longsor, tampak bahwa sebagian masyarakat pada saat ini telah mulai mampu mengenali lahan atau lereng yang rentan longsor, gejala awal longsoran akan terjadi, serta upaya untuk mengendalikan longsoran dengan teknologi sederhana. Bahkan beberapa warga di perbukitan Kulon Progo dan Perbukitan Menoreh juga sudah mulai secara sadar menyingkir atau berpindah dari lokasi rentan. Namun sayang sekali justru masyarakat yang berasal dari kota (dengan latar belakang ekonomi dan pendidikan tinggi) masih tetap ada yang beraktivitas bahkan merusak daerah rentan. Tidak sedikit pembangunan perumahan dilakukan pula di daerah rentan bencana banjir dan longsor. Tampaknya penegakan peraturan secara ketat di daerah rentan bencana perlu segera dilakukan. “Khusus untuk daerah rentan bencana yang sudah terlanjur banyak penduduknya, maka pemantauan gejala awal bencana serta pembelajaran/pemberdayaan masyarakat merupakan hal kunci. Dengan cara ini maka system peringatan dini dapat pula diterapkan secara efektif, dan diharapkan jumlah korban jiwa/ kerugian dapat dihindari atau diminimalkan,” tegasnya.
(Humas UGM)