Dari tahun ke tahun, Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi endemik di Yogyakarta. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta merilis data bahwa pada tahun 2016 lalu terdapat 1.706 kasus DBD dengan 13 kematian, sementara hingga minggu ketiga di awal tahun 2017 jumlah kasus telah mencapai angka 53. Kondisi ini mendorong tim Eliminate Dengue Project (EDP) Yogya untuk terus mengembangkan inovasi metode pengendalian Demam Berdarah melalui penyebaran nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia.
“Tahun lalu kami telah melakukan penelitian 6 kelurahan di Kota Yogyakarta, dan pada tahun 2017 ini kita akan memperluas kegiatan penerapan Aedes aegypti ber-Wolbachia di 24 klaster yang tersebar di wilayah Yogyakarta,” ujar Peneliti Utama EDP Yogya, Prof. Adi Utarini, Selasa (24/1).
EDP Yogya sendiri merupakan kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran UGM dan didanai oleh Yayasan Tahija yang mengembangkan metode alami untuk mengurangi kasus DBD dengan menggunakan bakteri Wolbachia. Menurut penelitian yang telah dilakukan, bakteri ini terbukti mampu menghambat perkembangan virus DBD di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti.
Dalam tahap penelitian kali ini, tim EDP Yogya akan menyebarkan 8.000 ember yang masing-masing berisi 100-120 telur nyamuk ber-Wolbachia. Untuk memperoleh bukti ilmiah yang kuat, EDP Yogya memerlukan dua wilayah, yaitu wilayah yang akan mendapatkan penitipan telur ber-Wolbachia atau wilayah intervensi serta wilayah pembanding.
“Kami akan membagi keseluruhan wilayah tersebut menjadi 24 klaster berdasarkan batas-batas fisik seperti jalan raya, sungai, atau lahan kosong, bukan berdasarkan batasan administratif. Selanjutnya, hanya separuh kluster yang akan terpilih secara acak menjadi wilayah penitipan telur anti DBD ini,” jelasnya.
Pemilihan kluster yang akan menjadi wilayah intervensi serta wilayah pembanding akan dilakukan secara acak melalui proses pengacakan yang dilakukan secara terbuka di hadapan perwakilan dari berbagai kelurahan yang dilibatkan di Balai Kota Yogyakarta pada Rabu (25/1). Adi berharap keterlibatan warga dalam penentuan wilayah ini dapat mendorong warga untuk turut berpartisipasi dalam upaya pengendalian DBD.
“Pemilihan sampel dalam proses penelitian pada umumnya dilakukan secara acak oleh tim peneliti. Tapi untuk tim EDP kami ingin melibatkan warga karena partisipasi masyarakat sangatlah penting,” ujarnya.
Program penelitian yang telah berlangsung di Provinsi DIY sejak tahun 2014 ini mendapat respons baik dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta yang juga gencar melakukan kampanye dan upaya pengendalian demam berdarah.
“Kami mendukung sekali penelitian ini, mengingat saat ini beban DBD Kota Yogya tergolong masih mengkhawatirkan,” papar Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, drg. Fita Yulia Kiswororini.
Dalam kesempatan ini ia memaparkan bagaimana persebaran DBD sudah begitu luas. Data tahun 2016 menunjukkan bahwa kasus DBD telah menjangkit setiap kelurahan di Kota Yogyakarta hingga tidak ada satu pun wilayah yang aman dari ancaman DBD. Karena itu, ia berharap masyarakat yang sudah dipercaya untuk memelihara telur nyamuk ber-Wolbachia ini dapat benar-benar berkomitmen hingga akhir masa penelitian sehingga nantinya dapat tampak hasil yang baik dari penelitian ini.
“Harapannya penelitian ini dapat berkembang dengan baik dan hasilnya nanti akan sama-sama terlihat juga. Melalui hal ini kita akan mulai upaya dari Jogja untuk Indonesia, kita membebaskan masyarakat dari ancaman demam berdarah,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)