Sungguh tak sering suatu penemuan ilmiah, apalagi dalam bidang paleoantropologi, menjadi santapan pembaca awam di media massa-baik nasional maupun internasional. Namun itulah yang terjadi dengan penemuan fosil di Flores yang dianggap terpenting di dunia dalam 50 tahun terakhir ini. Sebabnya adalah segera setelah pengumuman penemuan itu di jurnal ilmiah bergengsi, Nature, kontroversi merebak di media massa.
Penemuan fosil oleh Peter Brown dan Mike Morwood dari australia ini menjadi spektakuler karena fosil tersebut dianggap berasal dari spesies baru “manusia kerdil” yang dinamai Homo floresiensis. Namun menyusul diumumkannya penemuan ini secara resmi di beberapa surat kabar, Prof. Teuku Jacob dari Laboratorium Paleoantropologi UGM menyatakan bahwa identifikasi penemuan fosil diatas tidak benar. Menurutnya, spesies baru manusia dari Flores itu sebenarnya manusia modern yang termasuk dalam spesies Homo sapiens dari ras Australomelanisid. Hanya saja menurutnya, fosil manusia Flores tampak istimewa karena menderita penyakit microchepali yang banyak diderita oleh masyarakat Flores.
Untuk memahami lebih jauh kontroversi ini, maka Masyarakat Yogya untuk Ilmu dan Agama (MYIA) Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM menggelar acara Diskusi Publik berjudul “Kontroversi Homo floresiensis: Perspektif Sains dan Agama”. Diskusi ini digelar pada Senin, 10 Januari 2005 di University Center (UC) UGM Bulaksumur.
Hadir sebagai pembicara pada diskusi yaitu Prof. Dr. Teuku Jacob (UGM), Prof. Dr. Josef Glinka SVD (UNAIR), dan Dr. Hamim Ilyas (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Menurut Prof. Dr. T. Jacob, untuk memahami evolusi manusia, antripogenesis, asal-usul manusia dan paleonantropologi kita perlu mengetahui tentang paleontologi, geologi kuarter, geokronologi, biostratigrafi, paleongeografi, biogeografi, paleoekologi dan paleoklimatologi, taxonomi, primatologi, embriologi anatomi, paleopatologi dan genetika. Manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terus berubah, dan turut mengubah fisik dan budaya manusia. Cukup banyak fosil manusia sudah ditemukan mulai dari Australopithecus, H. habilis, H. ergaster, H. erectus dan H. sapiens awal. “Dari fakta-fakta yang ada telah lahir banyak teori dan hipotesis, yang tentu saja terus berubah dengan adanya temuan baru, fakta ekologis baru, peralatan baru serta temuan-temuan beru dalam biologi dan ilmu-ilmu dasar. Pada hakekatnya teori evolusi mencari cara-cara dan mekanisme terjadinya makhluk hidup dan perubahan-perubahan yang dialaminya melalui masa,” ungkapnya.
Dalam makalahnya berjudul “Rangka Liang Bua dan Evolusi Manusia” ia menjelaskan bahwa acap kali orang menghubungkan evolusi manusia dengan teori Darwin atau Darwinisme. “Darwin sebetulnya hanya menerangkan terjadinya dan perubahan-perubahan spesies malalui seleksi alam. Ini sebenarnya dilakukan bersamaan dengan teori Wallace, sehingga lebih tepat disebut teori Darwin-Wallace. Acap kali Darwinisma diartikan Darwinisme sosial, yang sesungguhnya lebih tepat disebut Spencerisma,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa, teori evolusi sekarang adalah teori sintetis biologis, yang mempergunakan banyak bidang biologi. Teori evolusi biologis ini terus mengalami evolusi pula dengan bertambahnya pengetahuan kita. “Yang pokok dalam teori sintetis ini adalah kepurbaan bumi yang jauh lebih tua daripada yang disangkakan atau dipercaya, dan bahwa spesies dan segala taxa makhluk hidup berubah dari masa ke masa. Perubahan paradigma ini yang penting dalam Darwinisme, yang mempengaruhi banyak disiplin ilmu dengan konsep dinamis, yang menggemparkan para penganut konsep statis. Hasil penciptaan dapat terus berkembang secara autonom dibawah suatu program yang mahabesar. Mengatahui evolusi dan mekanismanya akan membuat orang lebih beriman,” tegasnya.
(Humas UGM)