Dikatakan dr. Hendro Wartatmo, Sp.B, keberangkatan tim medis UGM ke Aceh, awalnya dilandasai oleh niat-niat idealisme pribadi. Namun pada akhirnya, tim ini disupport oleh Pihak Rumah Sakit Dr. Sardjito dan pihak Fakultas Kedokteran UGM. “Karena saat itu belum ada koordinasi, maka kami menetapkan tim sendiri. “Dengan berbagai pertimbangan, tim pun akhirnya menetapkan bantuan kesehatan ke Meulaboh. Kenapa ke Meulaboh? Disamping lebih terisolir, daerah ini mungkin tingkat kerusakannya tidak separah yang terjadi di Banda Aceh. Kalaupun, sampai saat ini semua bantuan yang diurus mungkin di Banda Aceh. Maka, kami ingin memfokuskan kesitu, ke Melauboh. Jadi, tim medis UGM ingin melakukan sesuatu yang kecil tetapi lebih terfokus,” kata dr. Hendro.
dr. Hendro Wartatmo, Sp.B mengatakan hal tersebut dalam pemaparan pengalaman sepekan tim medis UGM tahap I di Aceh, hari Selasa, 11 Januari 2005, di ruang sidang pimpinan.
dr. Hendro menuturkan pula, bahwa niat Tim Medis ini terus direspon pihak UGM. Dalam perkembangannya bersama UGM direncanakan untuk memberikan bantuan yang lebih besar lagi. “Problem-problemnya sama yaitu problem jangka pendek mengenai kesehatan, sedangkan problem jangka panjangnya merehabilitasi psikis karena trauma psikis, perbaikan ekonomi, dan lain-lain,” ujar Hendro.
Solidaritas juga ditunjukkan Prof. Byron J Good, Ph.D dari Fakultas Kedokteran Harvard University. Menurut Prof. Byron, ini merupakan bentuk kerjasama dengan Fakultas Kedokteran UGM. “Bahwa orang-orang Amerika sangat sedih melihat bencana Tsunami di Aceh melalui CNN, dll. Mereka yang turut bersedih ingin mengekspresikan perasaannya dengan menolong korban-korban Tsunami. Sebelum ibu Mary Jo berangkat, mereka semua bilang ingin datang dan mau menolong korban tsunami disini. Mereka sudah siap datang dan siap membantu,” ungkap Prof Byron.
Sementara itu, Ir. Ismudiyanto, MS merancang sebuah pemukiman di Aceh. Yang pertama ingin dikembangkan adalah membangun 40 unit rumah yang dilengkapi dengan Meunasah/Surau tempat untuk sholat, mengaji, do’a, zikir, belajar agama. Dilengkapi pula MCK, ruang bersama untuk pengobatan, gudang logistik, dan dapur umum yang dapat dicapai dari jalan lingkungan. Kemudian dilanjutkan dengan pengembangan 2 yang terdiri dari 80 rumah, lalu pengembangan 3 terdiri dari 136 rumah, dan pengembangan 4 terdiri dari 216 rumah.
“Rumah dibuat semi permanen dengan spesifikasi: (i) bentuk rumah berupa rumah pamnggung seluas 7,2 x 4 m= 28,8 m2 terbuat dari konstruksi kayu berukuran: lebar 4 m dan panjang 7,2 m. Jarak antar kolom bentang lebar 2,2 m dengan cantilever lantai 90 cm. Jarak antar kolom memanjang 3,6 m; (ii) bentuk atap pelana terbuat dari seng gelombang bagian atas dicat zynchromate warna hijau agar tidak menyialauakan. Bagian bawah dicat warna putih agar radiasi panas bahan seng dapat dikurangi. Atap seng ditumpu oleh kayu susuk; (iii) konstruksi utama bangunan panggung dibuat dengan bahan kayu Meranti ukuran 6/12 dengan kuda-kuda segitiga kayu gapit 2×6/12. Sambungan kayu utama menggunakan baut 20 cm, sambungan lainnya menggunakan paku usuk; (iv) dinding terdiri dari bahan papan kayu untuk bagian yang terkena panas (sisi barat dan timur). Dinding dibuat dari tripleks dan rangka kayu 5/7 untuk bagian utara selatan; (v) pintu dan jendela dibuat dari papan kayu, tangga terbuat dari kayu 6/12; (vi) lantai rumah panggung pada ketinggian 215 cm dibuat dari papan kayu atau bambu belah dilapis tripleks ditumpu oleh kayu 6/12; (vii) kolom rumah panggung setinggi 2 m dari muka tanah dibuat dari kayu gapit 2×6/12 dan kolom tersebut ditumpu oleh fondasi batu kali atau beton cetak diperkuat dengan angkur; (viii) lantai bawah digunakan untuk memasak, tempat bermain anak, aktivitas sosial bersama,” ujar Dosen Arsitektur FT UGM.
Ir. Ismudiyanto, MS juga menambahkan bahan-bahan yang dibutuhkan yaitu: pondasi batu kali, semen dan apsir, kayu Meranti (6/12,5/7) papan kayu sengon 2/20, tripleks 3 mm, bambu belah diameter 7 cm, atap seng gelombang, cat zynchromate, baut 20 cm, paku usuk, paku kecil, dan peralatan tukang. “Sedangkan biaya yang dibutuhkan kira-kira: (i) Bahan bangunan: Rp. 6.500.000,00; (ii) Upah Tukang: Rp. 1.000.000,00; (iii) Persiapan, dll: Rp. 500.000,00. Jadi total biaya yang dibutuhkan Rp. 8.000.000,00,” tuturnya.
“Bantuan dari UGM tadi disusun dalam 3 tahap yaitu: Darurat, Menengah dan Jangka Panjang. Tim 1 yang berangkat sampai tim 3 nanti termasuk dalam Tim Darurat. Jangka pendek termasuk jangka menengah. Juga dari divisi kesehatan dan kejiwaan akan menyusun untuk jangka menengah dan jangka panjang untuk mengetahui sampai mana perkembangan health centre-health centre di Meulaboh. Jadi setiap divisi yang disebutkan 4 divisi tadi akan mencoba merumuskan menjadi 3 tahap yaitu darurat, menengah dan jangka panjang,” tegas Ir. Ismudiyanto.
Sedangkan, Sekretaris Eksekutif UGM Dr. Agus Sartono, MBA mengemukakan, perlu diketahui bahwa Tim 3 sudah disiapkan. Tim 3 ini menurut rencananya akan diberangkatkan ke Aceh pada hari Sabtu (15/1/2005). Tim ini sekaligus akan membawa bahan obat-obatan dari Belanda. “Ada 1 truk yang nanti akan membawa obat-obatan yang sudah datang di UGM. Demikian juga Tim Advance dalam waktu dekat juga akan diberangkatkan. Untuk itu, dituntut perencanaan yang lebih komprehensif menyusun pengembangan 3-4 tahun yang akan datang”, ujar Pak Agus.
(Humas UGM).