Sejak Sabtu 15 Januari 2005, Tim Manajemen Bencana UGM telah berada di Banda Aceh untuk melakukan Survey daerah bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh. Hasil survey menunjukkan bahwa jumlah pengungsi di Aceh hingga Sabtu, 15 Januari 2005 telah mencapai 269.847 orang, bahkan sekitar 80.000 diantaranya tergolong anak-anak usia sekolah yang sangat memerlukan penanganan yang serius. Jumlah pengungsi akibat bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh kini tersebar dan tidak terorganisasi dengan baik. Pengungsi di negeri sendiri atau menurut UNHCR disebut dengan IDP’s (Internally Displace Peoples) tersebar di lima kabupaten/kota yaitu Banda Aceh, Sigli, Bireun, Lhokseumawe, dan Langsa. Demikian pernyataan DR. Sudibyakto selaku Ketua Tim Manajemen Bencana UGM di Aceh.
“Jumlah pengungsi di Banda Aceh mencapai 34.146 orang, Kabupaten Aceh Besar 11.984 orang atau hampir 38% total penduduknya 302.106 jiwa, Kabupaten Aceh Barat 56.497 orang. Meskipun penanganan anak-anak pengungsi telah dilakukan oleh beberapa organisasi termasuk LSM lokal dan nasional, namun penanganan secara sistematis dan komprehensif untuk dilakukan segera dalam waktu 3-6 bulan kedepan,” ungkap DR. Sudibyakto.
Dikatakannya, Tim Manajemen Bencana UGM yang beranggotakan Dr. Drajat, Winaryo dan Samsi telah mengusulkan kepada pihak Bakornas PBP untuk segera menangani pengungsi ini terutama dalam penanganan pemulihan dan rehabilitasi mental termasuk stress traumatik. Tim pendampingan anak-anak pengungsi sebaiknya melibatkan keahlian psikiater, psikolog, kesehatan masyarakat, gizi, sanitasi lingkungan, ahli dakwah, ahli geografi penduduk dan relawan mahasiswa yang cepat tanggap terhadap kondisi kedaruratan. Kurikulum sekolah pengungsi disesuaikan dengan kondisi lapangan. “Tim Manajemen Bencana UGM yang bekerja selama satu minggu (14-20 Januari 2005) di Aceh bertujuan untuk melakukan survey “damage assesment and need assesment” serta menentukan alternatif lokasi pemukiman kembali korban bencana yang aman terhadap tsunami dan banjir,” lanjutnya.
Menurutnya, Tim UGM yang telah mensurvei secara cepat diusulkan lokasi-lokasi relokasi korban bencana di beberapa tempat, antara lain di Kecamatan Lampeunered, Kec. Kotabaru di Kab. Aceh Besar, Kec. Sibreh, Kec. Ulee Kareng, dan Kec. Luang Bata. Lokasi tersebut direkomendasikan sebagai tempat relokasi korban bencana setelah mempertimbangkan beberapa faktor kelayakan anatara lain akses ke Banda Aceh, ketersediaan air tanah sebagai sumber air bersih, kawasan bebas banjir dan bebas tsunami serta faktor keamanan dan kepadatan penduduk yang belum tinggi. “Diperkirakan lima kecamatan tersebut mampu menampung lima ribuan pengungsi dengan ukuran luas lahan rumah sekitar 90 meter persegi (rumah sederhana ukuran 36 m2),” tambah DR. Sudibyakto.
Kata DR. Sudibyakto masalah yang kini mendesak adalah bagaimana bisa mengetahui karakteristik demografi pengungsi dan tim yang mampu mendampingi pengungsi secara individu maupun kolektif agar mental mereka siap untuk menghadapi pola hidup baru. “Hal ini penting karena tidak mungkin lagi rumah mereka yang luluh lantak akibat tsunami ditempati kembali. Tim UGM selanjutnya akan mengadakan survei ke Meulaboh atau ke Lhok Nga yang juga merupakan daerah terisolir,” tegasnya. (Humas UGM)