Nikel merupakan salah satu logam yang banyak ditemui dalam berbagai produk konsumsi atau dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Padahal, di kebanyakan negara, paparan kulit oleh produk logam diketahui telah menjadi penyebab tersering dermatitis kontak alergi. Pada populasi umum, nikel dapat menjadi salah satu faktor risiko penyakit-penyakit kulit seperti Dermatitis Numularis (DN) atau yang biasa dikenal sebagai penyakit eksem.
“Penderita DN yang sulit berespons terhadap terapi yang diberikaan dicurigai memiliki faktor hipersensitivitas terutama terhadap nikel,” ujar dr. Niken Indrastuti SpKK(K) saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Selasa (28/2) di Fakultas Kedokteran UGM.
Dalam kesempatan ini, ia mempertahankan disertasi berjudul “Peran Alergi Kontak Nikel dan Beberapa Faktor Risiko pada Dermatitis Numularis”. Deteksi faktor risiko yang beragam terhadap terjadinya dermatitis numularis, menurutnya, sangat penting untuk menurunkan morbiditas.
Niken menjelaskan masuknya nikel pada tubuh biasanya melalui kontak langsung dengan kulit akibat penggunaan produk atau melalui rongga mulut sebagai asupan diet seseorang. Meski demikian, ia mengakui bahwa paparan terhadap nikel dalam kehidupan sehari-hari memang menjadi sesuatu yang sulit untuk dihindarkan.
“Dalam kehidupan sehari-hari untuk menghindari nikel secara total merupakan hal yang sulit dilakukan,” kata Niken.
Durasi paparan nikel secara langsung pada kulit yang berlangsung lama inilah yang menentukan terjadinya alergi kontak. Dalam penelitian yang ia lakukan, hipersensitivitas terhadap nikel sulfat yang tampak pada indeks stimulasi limfosit pada kultur SMDT yang distimulasi dengan alergen nikel sulfat, uji tempel terhadap nikel, kadar IFN-γ, dan kecemasan (BAI) secara statistik (P< 0,05) merupakan faktor risiko terjadinya DN.
“Terdapat bukti bahwa alergi terhadap nikel berperan sebagai faktor risiko timbulnya dermatitis numularis yang ditunjukkan dengan hasil uji tempel, indeks stimulasi limfosit, dan kadar sitokin IFN-γ,” jelasnya.
Selain paparan terhadap nikel, ia juga menyebutkan stres psikologis sebagai faktor risiko timbulnya DN, yakni pada skor kecemasan (BAI) pada DN yang lebih tinggi dibandingkan dengan skor kecemasan pada non-DN. Karena itu, ia menyarankan agar pemeriksaan klinis bagi penderita dermatitis numularis dilengkapi dengan pemeriksaan alergi terhadap nikel dan telaah psikologis, khususnya aspek kecemasan.
Prof. Dr. Dr. Hardyanto Soebono SpKK(K) yang dalam kesempatan ini bertindak sebagai promotor menyebutkan bahwa penelitian mendalam mengenai alergi seperti yang dilakukan oleh dr. Niken merupakan sesuatu yang sangat diperlukan. Penelitian ini, menurutnya, bisa membuka wawasan terhadap berbagai faktor risiko alergi yang selama ini kurang diperhatikan, seperti paparan nikel dari lingkungan, baik melalui asap knalpot, air sumur, dan yang lainnya.
“Saat ini orang masih beranggapan bahwa alergi pasti penyebabnya dari makanan maka kalau ke dokter mereka selalu bertanya pantang makan apa. Padahal, faktornya bisa banyak sekali. Karena itu, penelitian seperti ini sangat penting,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)