
Kesuksesan BPJS Kesehatan sebagai lembaga penyelenggara Universal Health Coverage atau Jaminan Kesehatan Nasional sangat tergantung dari kualitas kepesertaannya. Kualitas tersebut tidak hanya terkait pengetahuan soal jaminan kesehatan, namun juga kesadaran para peserta untuk membudayakan gaya hidup sehat.
“Member yang berkualitas adalah yang konsisten membayar premi dan selalu menjaga kesehatannya,” terang Direktur Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan UGM, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes, dalam Seminar Nasional Kesehatan bertema ‘Peran Mahasiswa Indonesia Menuju Universal Health Coverage 2019’ di Auditorium Fakultas Kedokteran (FK) UGM, Rabu (16/3).
Menurut Adreas Meliala, di sejumlah negara terjadi salah persepsi tentang Universal Health Coverage, baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakatnya. Contohnya di Thailand ketika diterapkan Universal Health Coverage, kualitas pelayanan kesehatan justru menurun dan tidak memadai. Selain itu, pasien menjadi tidak rajin merawat kesehatan serta menjadi ‘manja’ dan meminta pelayanan berlebihan. “Alhasil beban yang ditanggung pemerintah menjadi berat,” katanya.
Permasalahan lain yang muncul adalah banyak warga yang mendaftar sebagai peserta JKN dan membayar premi saat sakit saja. Namun, ketika sudah sehat memutuskan keluar dari kepesertaan dan tidak lagi membayar premi. Padahal, prinsip dari JKN adalah gotong-royong yaitu warga yang sehat membantu warga lain yang sakit.
“Untuk memberi pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang JKN perlu ada pihak yang memberi sosialisasi, salah satunya mahasiswa,” kata Andreas Meliala.
Seminar diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI) dan dihadiri tak kurang 300 peserta dari seluruh Indonesia. Seminar sebagai agenda pembuka Rakornas HMPI dibuka oleh Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D.
Kaprodi S2 Kesehatan Masyarakat FK UGM, Dr. Mubasyir Hasan Basri, M.A, mengatakan peran mahasiswa dalam menyukseskan program JKN, selain memberi pemahaman yang benar, juga mengawasi kinerja BPJS Kesehatan. Pasalnya, dengan perputaran uang yang sangat besar mencapai triliunan rupiah cukup riskan untuk diselewengkan. Hal tak kalah penting yang harus diperhatikan adalah masih tingginya ketimpangan pelayanan kesehatan terutama daerah-daerah terpencil di luar Jawa. “Tugas mahasiswa juga mengontrol mutu kesehatan di daerah,” kata Mubasyir.
Kepala Departemen Pemasaran dan Kepesertaan BPJS Kesehatan Regional VI, I Gusti Ayu Mirah, menambahkan mahasiswa bisa menjadi peserta BPJS Kesehatan melalui kepesertaan kolektif yang dikelola perguruan tinggi. Dasar hukum rekrutmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Kolektif antara lain Perpres Nomor 19 tahun 2016, Peraturan BPJS Nomor 1 tahun 2015 dan Per Dir BPJS Nomor 32 tahun 2015.
“Hingga saat ini sudah ada 13 Perguruan Tinggi Negeri dan 18 Perguruan Tinggi Swasta yang sudah menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan,” katanya.
Menurut I Gusti Ayu Mirah, banyak manfaat yang didapat lembaga pendidikan melalui kepesertaan kolektif. Bagi yayasan/lembaga, terdaftarnya seluruh mahasiswa menjadi peserta JKN-BPJS Kesehatan sekaligus optimalisasi pemberdayaan fasilitas kesehatan. Bagi perguruan tinggi, biaya pelayanan kesehatan yang tadinya variable cost menjadi fixed cost serta efisiensi SDM dan SDS. Sedangkan bagi mahasiswa, biaya pelayanan kesehatan yang diberikan komprehensif akan memberikan rasa aman dan ketersediaan fasilitas kesehatan. (Humas UGM/ Agung)