Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM mendesak Presiden Joko Widodo untuk secara tegas menolak revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Revisi UU KPK tersebut dinilai akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
“Urgensi revisi UU KPK sama sekali tidak jelas. Justru, nuansa pelemahan terlihat jelas dalam substansi RUU KPK ini,” jelas peneliti PUKAT UGM, Hifdzil Alim, S.H., M.H., kepada wartawan di kantor PUKAT UGM, Selasa (21/3).
Hifdzil mengatakan terdapat empat poin utama yang menjadi sorotan dalam revisi UU KPK ini. Beberapa poin tersebut, yaitu munculnya Dewan Pengawas, pengaturan penyadapan, KPK tidak dapat melakukan pengangkatan penyidik independen, dan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Menurutnya, munculnya dewan pengawas yang memiliki kewenangan melakukan penyadapan dan penyitaan ini akan menjadi resistensi karena dewan pengawas dipilih dan diangkat oleh presiden. Lalu, terkait penyadapan dapat dilakukan setelah ada bukti permulaan yang cukup. Hal ini menimbulkan konsekuensi penyadapan baru bisa dilakukan saat tahap penyidikan.
“Padahal, penyadapan diperlukan sejak proses penyelidikan. Kalau penyadapan baru boleh dilakukan setelah ada bukti awal yang cukup maka tidak jadi menyadap, ini cukup menggelikan,” katanya.
KPK juga tidak dapat secara mandiri mengangkat penyidik. Dengan kata lain, KPK hanya boleh mengangkat penyidik dari lembaga lain, seperti kepolisian, kejaksaan, atau PPNS yang sewaktu-waktu bisa ditarik kembali ke instansi asalnya. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya potensi konflik kepentingan jika penyidik tersebut menangani kasus yang melibatkan institusi masing-masing.
“Terkait kewenangan KPK menerbitkan SP3 ini jelas menjadi langkah mundur karena dikhawatirkan bisa disalahgunakan untuk menghentikan suatu perkara. Tanpa SP3, KPK justru lebih dapat menjamin kualitas dan kematangan dalam menangani kasus,” urainya.
Zaenur Rohman, peneliti PUKAT lainnya, menyampaikan revisi UU KPK merupakan salah satu bentuk pelemahan KPK yang dilakukan oleh DPR. Bahkan, saat ini DPR mulai melakukan sosialisasi rencana revisi UU KPK ini termasuk di beberapa perguruan tinggi. Upaya pelemahan KPK tidak hanya dilakukan melalui revisi UU KPK saja, tetapi juga ditunjukkan dengan wacana hak angket dalam pengusutan kasus korupsi e-KTP.
Menurutnya, pengajuan hak angket menjadi tidak tepat saat ditujukan kepada KPK yang tengah mengusut kasus korupsi e-KTP. Pasalnya, usulan hak angket ini akan memengaruhi penegakan yang dilakukan KPK.
“Proses penegakan hukum tidak semestinya diganggu oleh manuver-manuver politik,” katanya.
Zaenur meminta DPR untuk menghormati proses hukum kasus e-KTP. Tidak hanya itu, juga menghentikan berbagai bentuk manuver politik yang dapat memengaruhi proses hukum, termasuk hak angket.
“Kami terus mendukung KPK untuk melanjutkan proses hukum kasus e-KTP hingga tuntas,”tegasnya. (Humas UGM/Ika)