Pakar Hukum dan Pegiat Anti Korupsi dari Fakultas Hukum UGM mendesak pimpinan DPR RI untuk tindak melanjutkan rencana melakukan revisi UU Nomor 30 tahun 2012 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rencana revisi UU KPK tersebut diperkirakan memiliki muatan politik dan upaya untuk melakukan pelemahan pada kerja KPK yang saat ini tengah menangani kasus korupsi yang diduga melibatkan anggota dewan. Namun, apabila rencana itu tetap bergulir di senayan maka Presiden Joko Widodo diminta untuk turun tangan untuk tidak melakukan pembahasan lebih lanjut usulan revisi UU KPK tersebut.
Demikian yang mengemuka dalam Seminar yang bertajuk ‘Menangkap Aspirasi Publik Mengenai Rencana Revisi UU No 30 tahun 2012 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi’ yang berlangsung di Fakultas Hukum UGM, Rabu (22/3). Hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut, diantaranya Guru Besar Hukum Pidana, Prof. Eddy Hiarej, Ketua Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, Dosen Hukum Tata Negara FH UGM, Mahaarum Kusuma Pertiwi, SH, M.Hum., M.Phil, Ketua Badan Keahlian DPR RI, Johnson Rajagukguk dan Kepala Pusat Perancangan Undang-undang Badan Keahlian DPR RI, Dr. Inosentiussamsul SH MH.
Zainal Arifin Mochtar mengatakan revisi UU KPK bukan kebutuhan mendesak untuk dilaksanakan sekarang di tengah upaya KPK gencar-gencarnya melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebaliknya, yang segera harus dilakukan DPR RI adalah memperbaiki UU Tindak Pidana Korupsi agar selaras dengan Pelaksanaan Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC). “Sebenarnya jauh lebih penting apabila DPR memperbaiki UU Korupsi kita disinkronkan dengan UNCAC. Lalu, menjadikan adanya KPK di daerah, jauh lebih menarik,” kata Zainal.
Dosen Hukum Administrasi FH UGM ini menilai upaya melakukan revisi UU KPK sarat muatan politis di tengah upaya KPK menangani kasus yang diduga melibatkan para anggota dewan. “(Penolakan) ini bukan berarti KPK itu tidak boleh disentuh, bukan. Tapi selalu ada aksi reaksi, setiap penegakkan hukum yang lebih tinggi yang dilakukan oleh KPK, selalu muncul ide aneh dari DPR,” ujarnya.
Menurut Zainal, beberapa draft revisi RUU KPK yang ada sekarang ini tidak ada yang baru namun merupakan ide-ide lama yang terus dimunculkan kembali. Misalnya, soal kewenangan penyadapan KPK, Zainal mempertanyakan kenapa kewenangan penyadapan KPK perlu diatur sementara kewenangan penyadapan juga dipunyai oleh lembaga lain. “Kenapa hanya diatur di RUU KPK, padahal penyadapan ada juga di BNN dan BIN. Selain itu, perintah dari MK sendiri diperlukan UU khusus yang mengatur soal penyadapan,” katanya.
Di dalam draft Revisi UU KPK tersebut, menurut Zainal, justru DPR berupaya memperpanjang jalur birokrasi urusan penyadapan KPK. “Apalagi, penyadapan harus melewati izin dari Dewan Pengawas, pelaporannya pun harus berkala,” tuturnya.
Usulan adanya Dewan Pengawas KPK di RUU itu justru akan menciptakan “matahari kembar” di tubuh KPK. “Ide seperti ini seperti zaman kolonial, upaya memecah belah KPK,” katanya.
Zainal mendesak agar Presiden Joko Widodo menolak draft revisi UU KPK. Sesuai dengan janji kampanye Jokowi saat pilpres 2014, kata Zainal, Jokowi berjanji tidak akan mengganggu KPK bahkan berusaha menguatkan peran KPK. “Saya harap RUU ini tidak bergulir, jika pun bergulir saya harap Presiden tidak tanda tangan sehingga tidak ada pembahasan,” ujarnya.
Eddy OS Hiarej menilai revisi UU KPK saat ini sebagai upaya untuk melakukan pelemahan pada KPK. Ia sependapat dengan Zainal dan yang harus diperbaiki oleh DPR adalah memperbaiki UU tindak pidana korupsi sesuai dengan UNCAC. “Tapi yang dilakukan ini mendahulukan hukum formalnya dibandingkan hukum materialnya,” katanya.
Oleh karena itu, Eddy mendesak agar DPR RI menghentikan niat untuk merevisi UU KPK. Menurutnya, korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga penanganan dan penindakannya pun membutuhkan upaya yang luar biasa.
Kepala Badan Keahlian DPR RI, Johnson Rajagukuguk, mengatakan revisi UU KPK berisi tentang empat hal, yakni aturan mengenai kewenangan penyadapan, pembentukan Dewan Pengawas, penerbitan SP3 dan perekrutan penyelidik dan penyidik KPK. Meski demikian, kata Johnson, pihaknya hanya melakukan sosialisasi untuk menyerap aspirasi publik terkait rencana revisi UU KPK tersebut . “Kami hanya menjaring aspirasi, perlu dan tidaknya revisi KPK agar DPR dapat atau tidaknya dicoret dari daftar legislasi, kewenangan itu ada di pimpinan DPR,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)