
Digital demokrasi atau democracy digital telah memberi warna di beberapa kebijakan pemerintah. Kehadirannya melengkapi apa yang telah dilakukan parlemen senayan (DPR) dan parlemen jalanan (demonstrasi).
Dr. Dedy Permadi, managing director Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM, mengatakan munculnya demokrasi digital menjadi fenomena menarik akhir-akhir ini. Demokrasi digital atau parlemen digital menjadi pilihan banyak pihak dalam memengaruhi kebijakan pemerintah.
“Dulu orang harus mengartikulasikan kepentingan melalui wakil rakyat (DPR). Jika jalan sudah buntu mereka demo, sekarang ada cara lain tidak perlu demo, tidak perlu berpanas-panasan, mereka bisa bikin petisi online. Dengan cara itu dan mendapat banyak dukungan berharap suaranya mendapat peluang untuk didengar pemerintah," ujar Dedy Permadi, di gedung Bulaksumur C, Fisipol UGM, Kamis (23/3) saat menggelar jumpa pers hasil Kajian Petisi Online pada Kanal Change.org.
Menurut Dedy Permadi ada tiga kategori yang bisa dilakukan dalam mengartikulasikan kepentingan melalui petisi online, yaitu petisi online yang dilakukan kelompok anomik, kelompok asosiasonal dan kelompok institusional. Untuk kelompok institusional bisa dilakukan oleh Polri, TNI, PGRI dan sebagainya. Kelompok asosiasonal, misalnya Satuan Serikat Dagang Indonesia, Persatuan Dokter Hewan Indonesia dan lain-lain.
“Yang menarik adalah kemunculan yang anomik yang secara tiba-tiba secara random, tidak direncanakan, tidak ada organisasinya, tidak ada institusinya, muncul begitu saja kemudian memengaruhi proses kebijakan," katanya.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mulai memikirkan satu sistem baru dalam menyambut kehadiran parlemen digital. Sebab, parlemen jalanan (demonstrasi) dan parlemen senayan (DPR) sudah memiliki mekanisme dan UU yang jelas.
“Namun, yang parlemen digital ini belum ada perangkatnya, lembaganya, yang ngurusi siapa. Karena itu, sebenarnya kita perlu belajar dari pemerintah provinsi DKI Jakarta yang telah melakukan semua itu," papar Dedy Permadi.
Viyasa Rahyaputra, Research Manager CfDS Fisipol UGM, menambahkan tidak semua petisi online berpengaruh terhadap proses kebijakan. Sebab, dari 1.521 petisi online yang diteliti oleh CfDS Fisipol UGM selama Februari 2016-Februari 2017, hanya 4 petisi online yang menang atau di follow up dalam kebijakan.
“Empat yang menang ini mungkin karena sasarannya jelas. Selain itu, ada aksi di luar petisi online, misalnya aksi demo yang semakin memperkuat petisi online ini difollow up pemerintah," jelasnya.
Adapun empat petisi online yang menang versi change.org, yaitu Belenggu Gajah di KBS akhirnya dilepas dengan jumlah dukungan 4.818 dan Presiden Jokowi Tolak Remisi Koruptor dengan dukungan 11.221. Selain itu, judul petisi Gloria akhirnya ditugaskan turunkan bendera di Istana Presiden dengan dukungan 25. 129 dan Berhasil! Penyu dan Hiunya dilepaskan dengan dukungan 4.863.
Viyasa menandaskan tidak selamanya petisi online dengan dukungan paling besar memperoleh perhatian atau di follow up. Terbukti petisi online Cabut Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang mendapat dukungan sebanyak 207.097 tidak mendapat perhatian dari pemerintah sebagai sasaran petisi.
Meski lagi tren, kaya Viyasa, petisi online sebagai sarana mengartikulasikan kepentingan belum terlalu dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Sebab, jika dibandingkan di Amerika Serikat maka pendukung petisi online bisa mencapai jutaan.
“Jadi, belum terlalu banyak dimanfaatkan semaksimal mungkin bila dibandingkan di beberapa negara yang telah menerapkan demokrasi digital yang lebih matang," katanya.
Chiara Anindya, research Assistant, menambahkan dari 1.521 petisi online yang diteliti maka muncul angka rata-rata Petisi Politik per bulan mencapai 52,3 petisi. Tujuan petisi paling tinggi adalah ke pemerintah sebagai sasaran yaitu 518 petisi (82%).
"Isu keadilan dan kesetaraan adalah isu yang paling banyak dipetisikan dengan 318 petisi, sedangkan isu kebijakan ada di peringkat dua dengan 126 petisi," katanya. (Humas UGM/ Agung)