Saat ini, lebih dari 16 ribu macam obat yang beredar di Indonesia diproduksi oleh 205 pabrik farmasi. Setiap tahun, terdapat sekitar 300 merek obat baru. Kendati begitu, tidak ada institusi khusus yang mengawal peredaran dan distribusi pelayanan obat ke konsumen sehingga masyarakat berpotensi dirugikan.
“Serbuan obat-obatan di Indonesia sangat banyak sekali. Tidak ada yang mengawal obat ini. Sebenarnya, ini tugas apoteker untuk mengawal dan melindungi masyarakat,” kata Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Drs. M. Dani Pratomo, M.M., Apt., yang ditemui di sela-sela pelantikan 118 apoteker baru lulusan Fakultas Farmasi UGM, Selasa (23/2), di Grha Sabha Pramana UGM.
Diakui Dani, minimnya jumlah apoteker dan tidak diterapkannya implementasi aturan secara tepat menyebabkan pengawasan dan pelayanan obat ke konsumen menjadi semrawut. Di Indonesia baru ada sekitar 30 ribu apoteker. “Saat ini, rasio apoteker kita 1:8.000. Jumlah ini cukup besar dibandingkan negara ASEAN lain, satu apoteker hanya melayani 4.000-5.000 orang saja,” imbuhnya.
Dani juga menyesalkan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir praktik kefarmasian di Indonesia juga tidak dijalankan oleh profesi apoteker. Dengan demikian, pelayanan obat ke masyarakat tidak dijalankan oleh profesi yang berkompeten. “Selama lima puluh tahun, pelanggaran praktik kefarmasian sebagai suatu hal yang dianggap lumrah. Apoteker tidak ada di sebuah apotik tidak ada yang peduli. Berbeda dengan praktik poliklinik, tidak ada dokter tidak akan dilayani,” ujarnya.
Terkait dengan masih mahalnya harga obat, Dani mengakui permasalahan tersebut muncul karena masyarakat masih harus membayar sendiri untuk mendapatkan obat dan belum berjalannya sistem asuransi dengan baik. “Kalau sakit, masyarakat masih membeli obat dari kantong sendiri. Sistem asuransi kita belum berjalan dengan baik. Jika ada asuransi, maka harga obat akan jauh lebih murah. Seharusnya, asuransi kita harus berkembang lebih cepat,” tuturnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Dekan Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Marchaban, D.E.S.S., Apt. Menurutnya, belum optimalnya pelayanan obat ke masyarakat karena masih dilayani oleh pihak yang tidak berkompeten. “Banyak institusi yang mengelola obat tanpa apoteker. Seharusnya bisa ditindak secara hukum, namun belum ada satu pun yang ditindak,” sesalnya.
Disampaikan Marchaban, kurangnya penegakan hukum menyebabkan banyak gudang farmasi di kabupaten kota yang tidak dikelola oleh apoteker. Belum lagi rumah sakit dan puskesmas yang masih sedikit menggunakan jasa apoteker. “Banyak rumah sakit hanya menyediakan 1-2 apoteker saja. Padahal, dalam aturannya setiap 30 bad kamar pasien, rumah sakit menyiapkan satu apoteker,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)