Indonesia dan Filipina sama-sama merupakan negara pengirim pekerja migran internasional ke berbagai penjuru dunia. Meski begitu, bila melihat karakteristik pekerja migran internasional dan pengelolaan remitan, terdapat perbedaan mencolok di kedua negara tersebut. Dari sisi jumlah pekerja migran yang ditempatkan selama periode 1994-2007, Filipina jauh lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia. Demikian pula remitan yang dihasilkan, lebih banyak Filipina daripada Indonesia.
Demikian dikatakan Ratih Pratiwi Anwar saat menjelaskan isi buku “Mengembangkan Model Penggunaan Remitan untuk Mendukung Pencapaian Target MDGs, Studi Kasus Indonesia dan Filipina”, Kamis (11/2) di kampus UGM. Buku yang ditulisnya bersama lima peneliti lain, Almira Rianti, Esti Anantasari, Rahayu Wulan Djani, Bambang Agung Jatmiko dan Puspita Kusuma, diterbitkan oleh Pusat Studi Asia Pasifik UGM pada tahun 2009. “Sebagian besar pekerja migran di Indonesia dan Filipina adalah sama, yaitu perempuan. Ini tentu menunjuk fenomena female migration,” terang Ratih.
Dari sisi pekerjaan, Ratih menjelaskan pekerja migran Filipina atau Overseas Filipino Workers lebih beragam daripada pekerja Indonesia yang 75% merupakan pekerja domestik. Meski demikian, faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya migrasi internasional di kedua negara relatif sama, yaitu pembangunan ekonomi yang belum mampu membuka lapangan pekerjaan guna menyerap tambahan tenaga kerja. “Selain itu, masih sedikit jenis pekerjaan yang mampu menjamin kehidupan yang layak. Di kedua negara, angka kemiskinan masih tinggi dan ini menjadi problem pembangunan yang belum terselesaikan hingga kini,” jelas Ratih mewakili lima penulis lainnya.
Dari nilai remitan yang dihasilkan oleh para pekerja migran internasional, Filipina memperoleh remitan lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia. Hal ini disebabkan jumlah pekerja migran yang dikirim lebih banyak dan sebagian besar dari mereka memiliki keterampilan yang relatif tinggi, seperti para profesional, insinyur, dan tenaga medis. “Di tahun 2008, Filipina dinyatakan sebagai negara penerima remitan nomor empat terbanyak di dunia, sementara Indonesia tidak masuk dalam sepuluh besar penerima remitan terbanyak,” tambahnya.
Ratih menjelaskan pula bila pemanfaatan remitan bagi pengeluaran-pengeluaran yang mendukung pengurangan kemiskinan, seperti konsumsi rumah tangga sehari-hari dan pendidikan sudah menjadi prioritas di kedua negara. Namun, belum demikian untuk bidang kesehatan. “Di Provinsi Pampanga, fenomena tingginya migrasi internasional diikuti dengan pengurangan angka kemiskinan, sedangkan di Kabupaten Cilacap, Jateng, tingginya migrasi internasional masih disertai tingkat kemiskinan yang tinggi,” pungkas Ratih. (Humas UGM/ Agung)