
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Pranata Laboratorium Pendidikan (PLP) yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan pengelolaan laboratorium pendidikan rentan terhadap risiko keselamatan dan kesehatan baik untuk personal, orang lain, serta peralatan dan bahan di laboratorium. Untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan kerja, pengetahuan dan pemahaman PLP dalam bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Laboratorium, Persatuan Pranata Laboratorium Pendidikan Indonesia (PPLPI) dan Fakultas Farmasi UGM menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Keselamatan dan Kesehatan Kerja Laboratorium pada 6-8 April lalu di UGM.
Dalam sambutannya, Dekan Farmasi UGM, Prof. Dr. Agung Endro Nugroho, M.Si., Apt, menekankan perlunya peningkatan kompetensi dan profesionalitas dari Pranata Laboratorium Pendidikan melalui serangkaian workshop atau pelatihan, dan pendidikan salah satunya terkait keselamatan dan kesehatan kerja laboratorium. Selain itu, pertemuan PLP tingkat nasional ini bisa dimanfaatkan untuk bertukar pengalaman di masing masing perguruan tinggi dalam mengelola laboratorium.
“Tiap perguruan tinggi punya keunggulan dan kelemahan masing masing. Keunggulan tersebut perlu dibagikan,” ujarnya dalam wawancara, Senin (10/4).
Menurut Ketua Bidang Diklat PPLPI, Abdurachman Effendi, ST.,MTI, kegiatan ini menjadi penting bagi para PLP mengingat berbagai risiko keselamatan yang dihadapi dalam menjalankan fungsinya di laboratorium.
“Di laboratorium tingkat risiko cedera dan kecelakaan cukup tinggi karena tenaga laboran mengoperasikan alat-alat dan bahan punya potensi untuk menimbulkan kecelakaan kerja. Karena itu, kami sebagai asosiasi menginisiasi dan memfasilitasi bimbingan teknik bagi para PLP,” ujarnya.
Ia menjelaskan kegiatan ini diadakan atas dasar kesadaran dan kebutuhan tenaga laboratorium untuk memahami pentingnya prinsip K3 di laboratorium. Ia menyayangkan banyaknya perguruan tinggi yang kurang memperhatikan unsur keselamatan dari para tenaga laboratorium.
“Sebagian besar perguruan tinggi belum begitu intensif dan fokus perhatiannya terhadap implementasi K3 di laboratorium. Oleh sebab itu, dengan kegiatan ini harapannya bisa jadi masukan untuk pimpinan perguruan tinggi bahwa K3 itu penting,” jelasnya.
Diklat ini diikuti oleh 82 peserta dari 18 perguruan tinggi dan sekolah di seluruh Indonesia. Hal ini, menurut Abdurachman, melebihi target awal peserta sebanyak 50 orang. Ia pun mengapresiasi dukungan yang ditunjukkan oleh UGM karena bersedia menjadi tuan rumah dari penyelenggaraan diklat pertama ini. Selain di Yogyakarta, nantinya diklat serupa juga akan diselenggarakan di Kota Denpasar, Padang, Pontianak, serta Makasar.
Sementara itu, Ketua PPLPI, Imam Kausani, menyampaikan bahwa sasaran yang ingin dicapai melalui diklat ini adalah agar PLP lebih memahami standar kesehatan dan keselamatan kerja serta mampu menerapkannya di laboratorium tempatnya bertugas, termasuk alat pengaman diri (APD), dokumen, SOP, dan Formulir K3 di laboratorium.
“Harapannya, para PLP ini benar-benar memiliki kompetensi profesional dalam pengelolaan laboratorium,” ujarnya.
Ia menyebutkan beberapa insiden sempat terjadi di beberapa laboratorium dan sampai mengakibatkan korban meninggal atau menderita kelumpuhan. Karena itu, ia pun berharap agar melalui pelatihan semacam ini dapat terwujud kondisi laboratorium yang aman bagi setiap penggunanya, termasuk bagi PLP yang memberikan bimbingan cara pengoperasian, perawatan peralatan dan bahan yang sulit, risiko penggunaan tinggi, akurasi/kecermatan pengukurannya tinggi serta sistem kerja rumit bahkan dalam pengoperasiannya memerlukan pelatihan khusus/tertentu dan bersertifikat.
“Pelatihan ini sangat diperlukan untuk menjadikan zero incident dalam pengelolaan laboratorium. PLP harus memahami prinsip-prinsip dalam pengelolaan laboratorium agar tidak terjadi insiden yang membahayakan, terutama karena setiap hari mereka harus terpapar dengan hal-hal yang berbahaya,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)