Dewasa ini, para pakar di Indonesia belum melakukan diagnosis molekuler dalam praktik di rumah sakit. Bahkan, banyak rumah sakit mendiagnosis Leukimia Limfoblastik Akut (LLA) anak hanya berdasarkan atas pemeriksaan klinis dan sitologi saja. Analisis sitogenetik dan molekular belum secara rutin diterapkan di klinik. Demikian dikatakan staf medik Subbagian Hematologi-Onkologi SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sardjito/Fakultas Kedokteran UGM, dr. Sri Mulatsih, Sp.AK, dalam ujian terbuka Program Doktor bidang Ilmu Kedokteran UGM, Rabu (10/2).
Di hadapan tim penguji, promovenda mempertahankan disertasi bertajuk “Fusi Gena Tel-AML1, BCR-ABL, E2A-PBX1, dan MLL-AF4 sebagai Faktor Prognosis Leukimia Limfoblastik Akut”. Diuraikannya bahwa diagnosis leukimia di pusat-pusat kesehatan atau rumah sakit kelas A di Indonesia masih berdasarkan atas penemuan sel imatur (blast), baik di darah tepi maupun sumsum tulang. Di Yogyakarta, diagnosis leukimia juga masih berdasarkan atas sel leukimia (blast) pada apusan sumsum tulang dengan pengecatan rutin, seperti Giemsa dan hasil Sitokimiawi.
Di samping permasalahan tersebut, kata Sri Mulatsih, publikasi mengenai genetika-molekular leukimia pada anak di Indonesia masih sangat jarang sehingga data dasar sangat dibutuhkan. Berdasarkan kondisi tersebut, perlu dilakukan penelitian genetik dan molekular untuk melihat profil penderita LLA, hubungan prognostiknya, dan luaran terapi. “Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk membuat stratifikasi secara spesifik sehingga rancangan terapi dapat dibuat lebih akurat dan prognosis dapat diperkirakan secara baik dan benar,” jelas perempuan kelahiran Klaten, 11 November 1966 ini.
Berdasarkan parameter klinis penelitian Sri Mulatsih tampak angka kejadian penderita dengan risiko tinggi lebih banyak daripada risiko rendah, yaitu masing-masing 32 (54,2%) dan 27 (45,5%). Hasil ini sangat berbeda dengan yang diperoleh peneliti sebelumnya, yakni bahwa berdasar angka leukosit awal dan usia saat diagnosis, terutama di Eropa, lebih banyak penderita datang dengan risiko rendah. Alasannya, penderita yang datang terlambat angka leukositnya sudah tinggi.
Secara patogenesis, jumlah akumulasi sel blast dalam sumsum tulang akan semakin tinggi dan akibatnya akan keluar dari sumsum tulang, beredar keseluruh tubuh terutama organ hati, limpa, lomfonodi, tulang, kadang ke kelenjar timus, bahkan sistem syaraf pusat.”Dalam pembuluh darah sendiri akibatnya jumlah sel akan menumpuk dan terjadilah hiperleukositosis dengan segala akibatnya berupa leukostasis dan sindrom tumor lisis,” tambah Kepala Subbagian Diklit RSUP Dr. Sardjito ini. (Humas UGM/ Agung)