
Praktik perdagangan global selama ini tidak lepas dari kritik terkait ketimpangan akses, terutama bagi aktor-aktor di negara berkembang. Aktivitas perdagangan dinilai terlalu fokus pada usaha peningkatan pendapatan sehingga memunculkan berbagai isu seperti eksploitasi buruh dan lingkungan. Sementara itu, gerakan fair trade meyakini bahwa kegiatan perdagangan sesungguhnya dapat selaras dengan pemberdayaan buruh, pemerataan akses bagi para pelaku, dan perlindungan lingkungan.
Hal ini terungkap dalam diskusi dalam rangka World Fair Trade Day 2017 yang berlangsung di Fisipol UGM, Jumat (19/5). Diskusi menghadirkan sejumlah pembicara, diantaranya Agung Alits (Sekjen Forum Fair Trade Indonesia 2005-2015), Dr. Rimawan Pradiptyo (Kepala Tim Ekonomi Komisi Pengawasan Persaingan Usaha RI) dan Dra. Siti Daulah Khoirati, M.A (dosen Hubungan Internasional, Fisipol UGM). Hadir pula Mie Cornoedus (Pendiri Via-Via), Lastiana Yuliandari (Aliet Green), Andre Suryawan (Artistic Designer) dan Awan Santoso, SE., M.Sc (Peneliti Pusat Studi Kerakyatan UGM).
Dr. Wawan Mas’udi, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fisipol UGM, menyatakan gerakan ekonomi fair trade menjadi alternatif di tengah dominasi sistem ekonomi kapitalisme liberalisme. Oleh karena itu, banyak pihak diharapkan secara terus menerus mau memahami dan mengaplikasikan prinsip-prinsip perdagangan dunia yang berkeadilan atau world fair trade priciple.
“Menghadapi free trade yang semata-mata mengejar keuntungan adalah dengan fair trade, saya kira forum semacam ini sangat menarik bukan hanya mendengarkan pendapat para pelaku usaha, namun diharapkan kita menjadi tahu sejatinya apa itu fair trade. Kita coba diskusikan dan melawan hegemoni sistem ekenomi dunia yang penuh dengan ketidakadilan,” ujar Wawan Mas’udi saat membuka diskusi.
Dengan menerapkan 10 prinsip fair trade, kata Wawan Mas’udi, maka gerakan fair trade akan menjadi sangat luar biasa. Terlebih bagi pemerintah saat ini, hal ini tentu akan menjadi pondasi penting bagi pengembangan ekonomi Indonesia.
“Di tengah upaya pemerintah mencoba menyeimbangkan antara pertumbuhan dan keadilan maka perlu melihat ini bahwa ekonomi bisnis bukan semata-mata untuk menggeneralisasi keuntungan, namun pada saat bersamaan ekonomi itu sekaligus harus menjadi alat peningkatan kesejahteraan bersama, menjamin keseimbangan lingkungan dan lain-lain,” jelasnya.
Agung Alits menambahkan sistem pengelolaan ekonomi dan perdagangan internasional selama ini cenderung merugikan produsen karena kebijakan yang tidak berpihak dan menjadikan produsen terpinggirkan, terutama produsen kecil. Karena itu, fair trade menjadi alternatif pilihan untuk menghadapi itu.
“Saat ini fair trade menjadi pilihan, sebagai gerakan dan sebagai bisnis model. Di dalamnya ada kepedulian dan empati, dengan menerapkan 10 prinsip fair trade, diyakini bisa memerangi kemiskinan,” paparnya.
Dalam diskusi hasil kerja sama Institute of Internasional Studies (IIS) dan Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM, Vinie Puspaningrum mengatakan perdagangan yang berkeadilan sebaiknya dipahami sebagai sebuah perdagangan yang komprehensif. Perdagangan yang menempatkan pemerintah untuk mendorong praktik fair trade dan memutus perantara yang ada dalam rantai perdagangan selama ini.
“Meski memutuskan, pearantara harus dipikirkan nasibnya, jangan sampai menghilangkan rantai perantara, namun justru mengorbankan rakyat Indonesia yang mengandalkan sektor tersebut sebagai mata pencaharian. Artinya, perlu dipikirkan skema pemberdayan, agar mereka terserap dalam skema perdagangan yang adil,” ujar Kepala Kantor pusat Studi Perdagangan Dunia UGM itu. (Humas UGM/ Agung)