Ilmu dalam perkembangan tidak selalu bersifat kumulatif. Kuhn membahas perkembangan ilmu dalam periode normal science dan scientific revolution. Pada fase scientific revolution perkembangan ilmu menandakan adanya incommensurability antara dua teori rival dalam paradigma yang berbeda. Sementara perdebatan tentang incommensurability membawa diskusi tentang relativisme dalam ilmu.
“Melalui karya Kuhn tentang incommensurability, penelitian ini menelaah perdebatan tersebut dengan pisau analisis persoalan filsafat ilmu, khususnya berkaitan dengan problem yang muncul dari relativisme yang berkembang di dunia ilmu,” ujar Sonjoruri Budiani Trisakti, M.A saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Filsafat UGM, Rabu (24/5).
Sonjoruri Budiani mengaku penelitiannya merupakan penelitian pustaka tentang pemikiran incommensurability Thomas S. Kuhn yang dianalisis secara kritis dari perspektif relativisme dalam memandang ilmu. Unsur metodis utama yang dipergunakan dalam penelitiannya meliputi interpretasi dan kesinambungan.
“Scientific revolution dalam progresivitas ilmu menurut Kuhn mengakibatkan incommensurability antara dua paradigma rival, dan tidak ada ukuran yang bersifat umum untuk membandingkan keduanya,” jelas Sonjoruri, dosen Fakultas Filsafat UGM.
Mempertahankan disertasi Incommensurability Thomas Samuel Kuhn Dalam Perspektif Relativisme dan Relevansinya Bagi Pengembangan Ilmu di Indonesia, Sonjoruri Budiani mengungkapkan teori-teori ilmu yang dicapai dalam kegiatan ilmu dengan orientasi incommensurability dapat dikatakan sebagai objektif, rasional dan benar tanpa menafikan keberadaan paradigma. Realitas pengembangan ilmu yang mempertimbangkan incommensurability dapat menjadi dasar pengembangan ilmu yang berakar pada budaya di Indonesia yang berisi potensi-potensi indigenous science dan dapat dikembangkan menjadi pengetahuan ilmiah yang objektif dan rasional.
Ia mengatakan pengembangan ilmu di Indonesia memerlukan sistem pendidikan dan riset yang membuka peluang untuk terjadinya intersubjektivitas yang efektif. Pemahaman multikultural dapat terbangun tidak hanya antar “pengetahuan ilmiah” dari lokal Indonesia tetapi juga terbangun multikultural bangunan ilmu Indonesia dengan bangunan indigenous science yang lain di dunia internasional.
“Sistem pendidikan di Indonesia perlu memberikan tempat pada kurikulumnya bagi pengembangan indigenous science. Melalui itu, siswa sejak dini sudah mengetahui dan paham tentang indigenous science Indonesia,” tutur Sonjoruri didampingi promotor Prof. Dr. Koento Wibisono Siswomihardja dan ko-promotor Dr. Rizal Mustansyir. (Humas UGM/ Agung)