Data Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 1997 menyebutkan bahwa Teluk Jakarta merupakan teluk paling tercemar di Indonesia. Hal ini salah satunya disebabkan oleh aktivitas manusia yang semakin tinggi sehingga limbah rumah tangga pun menjadi semakin meningkat. Hal ini diperparah dengan tidak memadainya fasilitas yang dimiliki untuk menangani pembuangan limbah yang sangat besar serta munculnya sedimentasi pestisida dan pupuk akibat aktivitas pertanian di daerah atas.
“Semakin tinggi aktivitas manusia pada suatu tempat maka limbah rumah tangga yang dihasilkan akan semakin tinggi dan apabila tidak dikelola dengan baik dapat berpengaruh terhadap penurunan kualitas air tanah,” ujar Cahyadi Setiawan, S.Si., M.Si. saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Geografi UGM, Jumat (26/5).
Cahyadi mempertahankan disertasinya yang berjudul “Hubungan Pemanfaatan Lahan Permukiman dengan Air Tanah Bebas pada Bentuk Lahan Fluviomarin di Jakarta.” Ia menjelaskan, Jakarta memiliki 40% wilayah yang berada di bawah permukaan air laut pada saat air pasang dan berbentuk rawa pantai sehingga sangat memungkinkan untuk terjadinya banjir, atau disebut juga dengan bentuk lahan fluviomarin karena terpengaruh oleh proses fluvial dan juga marin.
Di samping faktor geomorfologis tersebut, ia menyebutkan bahwa pemanfaatan ruang kota dengan pembangunan fisik dan peningkatan jumlah penduduk yang signifikan juga dapat memengaruhi periode ulang wilayah yang dilanda banjir, selain menimbulkan ancaman pencemaran air tanah.
Dalam disertasinya, ia meneliti hubungan antara pendapatan total rumah tangga dalam sebulan dengan kebutuhan air rumah tangga rata-rata per hari serta proporsi pemanfatan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, serta model hubungan antara pemanfaatan lahan permukiman dengan pencemaran air tanah bebas.
Dari hasil penelitiannya ia menemukan bahwa semakin besar pendapatan total rumah tangga dalam sebulan maka semakin besar pula kebutuhan air rumah tangga tersebut. Sementara itu, semakin besar pendapatan total rumah tangga dalam sebulan maka semakin kecil proporsi pemanfaatan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga tersebut.
“Peningkatan pendapatan berdampak pada kemampuan rumah tangga untuk memilih alternatif sumber pemenuhan kebutuhan air selain dari air tanah, seperti air PAM, air gerobak, dan air kemasan,” papar Cahyadi.
Selain itu, ia juga menemukan adanya kecenderungan peningkatan konsentrasi dan pencemaran air tanah pada daerah yang dekat dengan pasar, tempat pembuangan sampah, rumah sakit, serta pabrik yang ada di sekitar lokasi permukiman. Hal ini, menurutnya, menguatkan pendapat terdahulu bahwa pencemaran dari sumber-sumber tersebut telah mencemari daerah sungai, air tanah, dan Teluk Jakarta.
“Kondisi sanitasi lingkungan permukiman yang kurang baik juga disinyalir ikut andil dalam meningkatkan pencemaran, seperti kepadatan bangunan, KLB, KDB, jarak dengan bangunan rumah terdekat, dan juga rembesan dari tengki septik,” jelasnya. (Humas UGM/Gloria)