Untuk mengisi kekosongan kosakata karena ketiadaan kata semakna maka kata serapan dari bahasa Prancis dalam ranah kuliner dan mode di Indonesia mewarnai khasanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Kosakata yang diserap ke dalam bahasa Indonesia tersebut mulai dikenal dan digunakan sejak dari masa kolonial Eropa di Indonesia hingga saat ini.
Menurut Hayatul Cholsy, S.S., M.Hum, dosen Jurusan Sastra Perancis FIB UGM, proses masuk dan diserapnya kosakata ini tidak lepas dari adanya kontak dengan bangsa Eropa, terutama bangsa Prancis yang datang dan mengadakan kontak langsung dengan bangsa Indonesia di berbagai bidang, termasuk dalam bidang kuliner dan mode. Penyerapan dan pemakaian kosakata ini di dalam masyarakat berkembang secara signifikan dan menjadi kosakata yang penting dalam dunia kuliner dan mode di Indonesia.
“Sebagai negara dengan tradisi kuliner yang diakui oleh dunia internasional dan sebagai salah satu kiblat mode dunia, pengaruh Prancis tidak dapat dihindari oleh Indonesia di dalam kedua ranah tersebut,” ujar Hayatul Cholsy, di ruang Multimedia, Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Selasa (30/5) saat menjalani ujian terbuka program doktor bidang ilmu linguistik.
Kosakata bahasa Prancis, menurut Hayatul Cholsy, digunakan di dalam teks maupun wacana dalam media apapun di Indonesia. Seperti halnya proses penyerapan kosakata asing maka proses penyerapan kosakata bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia mengalami penyesuaian, baik secara fonologis, ortografis maupun secara semantis.
“Hanya saja, dalam proses penyesuaian ini muncul ketidakkonsistenan pemakaian kosakata dari bahasa Prancis pada ranah kuliner dan mode dalam tataran fonologi yang mengarah kepada ortografi dan juga pada tataran semantik,” tuturnya.
Pada tataran fonologi ketidakkonsistenan terlihat dalam pelafalan dan penulisan kosakatanya. Pelafalan yang berbeda-beda karena adanya pengaruh sistem fonologi bahasa Indonesia atau bahasa asing lainnya seperti bahasa Inggris. Penulisan yang berbeda juga dipengaruhi oleh sistem ortografi dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal adanya tanda-tanda yang melekat pada huruf seperti tanda aksen.
“Karena itu, penyesuaian dalam proses masuknya kosakata bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia menjadi hal penting untuk diperhatikan karena dari proses ini diketahui ketidakkonsistenan pemakainya,” katanya.
Lebih lanjut, kata Hayatul Cholsy, penyesuaian fonologi terjadi mengikuti sistem ortografi bahasa Prancis, sedangkan penyesuaian ortografi terjadi karena mengikuti sistem fonologi bahasa Prancis. Sementara itu, penyesuaian secara morfologi tidak signifikan di dalam ranah kuliner dan mode karena sebagian besar kosakata yang diserap adalah nomina atau kata benda berupa nama diri.
Mempertahankan disertasi Kata Serapan dan Kosakata Bahasa Prancis Dalam Ranah Kuliner dan Mode di Indonesia, Hayatul Cholsy mengungkapkan ketidakkonsistenan dalam tataran semantik dapat terjadi karena faktor sosial dan budaya pemakaianya yang berhubungan dengan alasan pemakaian kata serapan tersebut. Pada tataran semantik sebagian besar kata serapan tidak mengalami perubahan makna karena kata yang diserap hampir seluruhnya merupakan nomina nom propre ‘nama diri’.
“Perubahan makna kata serapan pada ranah mode lebih banyak daripada ranah kuliner karena pemakaian kata serapan pada ranah mode lebih luas penyebarannya daripada ranah kuliner. Adapun wujud perubahan makna tersebut adalah perubahan makna menyempit, perubahan makna meluas dan perubahan referensi. Dari perubahan wujud ini terjadi penyesuaian makna dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia karena adanya faktor sejarah, sosial, dan budaya masyarakat penuturnya,” tandas Hayatul Cholsy didampingi promotor Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A dan ko-promotor Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA. (Humas UGM/ Agung)