Novel-novel kolonial Belanda periode 1890-1942 yang mengungkapkan hubungan ambivalen antara penjajah dan terjajah tidak banyak mendapat perhatian dari peneliti sastra di Indonesia. Padahal, novel-novel tersebut menyimpan hal-hal yang dalam sumber-sumber resmi dianggap tidak relevan sehingga dapat mengungkapkan kebenaran kolonial yang terselubung.
“Secara keseluruhan sastra kolonial Belanda cenderung diabaikan oleh peneliti sastra Indonesia walaupun sudah terdapat beberapa terjemahan dalam bahasa Indonesia. Kelangkaan ini mendorong dilakukannya penelitian ini mengingat sebagai dokumen kolonial novel-novel kolonial Belanda dapat memberi pandangan lain tentang kajian kolonialisme Belanda di Indonesia,” ujar Sudibyo saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (31/5).
Dalam disertasinya, pengajar di Departemen Sastra Indonesia UGM ini melakukan analisis wacana kolonial terkait stereotip yang ambivalen, ruang ketiga, serta uncanny dalam novel-novel kolonial Belanda periode 1890-1942. Secara khusus, ia melakukan analisis terhadap 5 novel, yaitu novel Soerapati: Historich Romantische Schets uit de Geschiendenis van Java karya Melati van Java, Orpheus in de Dessa karya Augusta de Wit, De Stille Kracht karya Louis Couperus, Goena-Goena karya P.A. Daum, serta Rubber karya Madelon Szekely-Lulofs.
Sudibyo menjelaskan, dari kelima novel ini terlihat bahwa sastra kolonial Belanda memiliki pertalian yang kuat dengan kolonialisme Belanda dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat pragmatis utilitarian. Pengarang, baik yang berafiliasi pada haluan politik tertentu maupun yang kelihatannya tidak memiliki ketertarikan kepada haluan politik tertentu, memiliki kepentingan yang sama untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan kolonial.
“Tidak mudah diingkari bahwa gagasan-gagasan mengenai kolonialisme Belanda baik secara tersurat maupun tersirat terlihat dalam sastra kolonial Belanda. Dengan kata lain, pengarang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem dan praktik kolonialisme,” kata Sudibyo.
Melalui fokalisasi seorang bumiputra, misalnya, novel Soerapati, menurut Sudibyo, menunjukkan kecenderungan yang kuat terhadap gagasan para etikus tentang politik asosiasi yang menginginkan bahwa tanah jajahan dapat dipimpin oleh bumiputra asalkan pemimpin tersebut memiliki kualifikasi setara dengan orang Belanda atau sudah mengalami proses pembelandaan yang sempurna.
“Melalui tokoh Surapati, Melati Van Java menunjukkan bahwa tujuan kolonialisme Belanda telah tercapai, dan tokoh yang telah terbelandakan merupakan pumpunan dari keberhasilan pendekatan etis dan misi pemberadaban,” paparnya.
Sementara itu, kecenderungan ideologi pengarang yang terepresentasikan melalui stereotip, ruang ketiga, dan uncanny dalam sastra kolonial Belanda secara tersirat memiliki pertalian dengan politik etis yang merupakan kontinuitas kebijakan yang dilakukan oleh Belanda yang memanfaatkan elite bumiputra sebagai kepanjangan tangannya.
Karena itu, menurut Sudibyo, diperlukan kajian ideologi estetik terhadap sastra Hindia Belanda karena korpus sastra ini merupakan inspirasi yang tidak pernah kering bagi penulisan sastra modern Indonesia sejak zaman kolonial sampai dengan periode mutakhir. Tema-tema tentang kolonialisme Belanda ini dimanfaatkan untuk menumbuhkan nasionalisme, membangkitkan nostalgia, dan alegori bagi sistem kekuasaan Orde Baru yang autoritarian.
“Sudah saatnya dilakukan pengkajian secara kritis untuk memasukkan sastra Hindia Belanda sebagai ranah kajian sastra Indonesia,” kata Sudibyo. (Humas UGM/Gloria)