Kesastraan Melayu Tionghoa pada masa kolonialisme memiliki peran penting terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia. Namun, kebijakan kolonial serta gejala rasisme pada masa itu menyebabkan kesastraan mereka termarjinalisasi. Padahal, karya sastra khususnya drama peranakan Melayu Tionghoa memuat berbagai macam narasi tentang identitas mereka.
“Kontribusi kelompok masyarakat peranakan Tionghoa dalam sejarah pertumbuhan kesusastraan Insonesia, khususnya drama modern, sangatlah berarti. Karya pengarang peranakan merupakan pionir sastra lakon pada zamannya, dan ikut andil dalam memperkaya pertumbuhan khazanah drama modern Indonesia,” ujar Cahyaningrum Dewojati saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Senin (19/6) di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Pada masa pra-Indonesia, jelasnya, karya drama Melayu Tionghoa telah banyak ditulis, diterbitkan, dan dipentaskan jauh sebelum munculnya drama Bebasari tahun 1926, drama karya Rustam Effendi yang selama ini dianggap sebagai karya pertama drama modern di Indonesia era Balai Pustaka.
“Faktanya, justru banyak drama Melayu Tionghoa yang telah terbit dan dipentaskan sejak tahun 1912-an,” ucap Dosen Prodi Sastra Indonesia UGM ini.
Meski drama Melayu Tionghoa tersebut memiliki kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan kesusastraan pra-Indonesia atau masa kolonial Belanda, sayangnya drama-drama tersebut tidak pernah bisa diterbitkan oleh Balai Pustaka karena dianggap di bawah standar mereka. Keputusan ini sendiri, ujar Cahyaningrum, dapat dihubungkan dengan munculnya asumsi mengenai gejala rasisme serta menyebabkan perbedaan perlakuan terhadap karya sastra Tionghoa.
Pada ujian terbuka ini, Cahyaningrum mempertahankan disertasinya yang berjudul “Drama Melayu Tionghoa sebelum Perang Kemerdekaan Periode 1912-1937: Sebuah Kajian Pascakolonial.” Di dalam penelitiannya, ia membahas beberapa hal seperti identitas ketionghoaan yang dikonstruksikan pengarang dalam drama peranakan Melayu Tionghoa, serta situasi sosial, politik, dan budaya yang terefleksikan dalam karya mereka.
Dalam menjelaskan hubungan masyarakat Tionghoa sebagai masyarakat terjajah di Hindia Belanda, ia mengambil gagasan Babha mengenai relasi antara penjajah dan terjajah yang tidak selalu berposisi, kompleks, penuh kontradiksi, dan ambivalen.
“Kaum peranakan Tionghoa dalam kajian ini ditempatkan sebagai pihak yang dikuasai dalam konteks hukum kekawulaan Belanda yang berada di bawah kontrol pemerintah kolonial,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, drama Melayu Tionghoa yang ditulis oleh pengarang peranakan Tionghoa di Indonesia pada masa kolonial Belanda periode tahun 1912-1937 dikategorikan sebagai karya sastra hybrid atau hibrida. Pola-pola hibrida yang terefleksikan dalam drama itu sendiri merupakan hasil perjumpaan dan gesekan para penulisnya dengan berbagai kebudayaan, ras, dan kelas sosial.
Lebih lanjut ia memaparkan beberapa pola atau ciri-ciri hibriditas yang terdapat dalam drama Melayu Tionghoa pada masa itu, misalnya bagaimana karya drama tersebut menunjukkan sikap ambivalensi pengarang terhadap penguasa kolonial Belanda dan masyarakat pribumi. Selain itu, juga terdapat dinamika pergulatan dan negosiasi antarbudaya, serta bagaimana drama-drama Melayu Tionghoa menjadi perwujudan dari fokalisasi kaum peranakan Tionghoa di Indonesia.
“Perjumpaan kaum Tionghoa dengan kebudayaan lainnya di Indonesia pada masa kolonial Belanda sering menimbulkan pergumulan identitas pada kaum peranakan Tionghoa,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)