Berbagai protes diajukan menyusul terjadinya kecelakaan siswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri Cliff Muntu hingga tewas. Bahkan, di masyarakat berkembang wacana untuk membubarkan lembaga pendidikan pencetak pegawai negeri tersebut.
Namun, nampaknya pemerintah masih berusaha untuk menyelamatkannya. Sangsipun hanya diterapkan dengan memberikan jeda pendaftaran praja baru selama setahun, dengan tujuan memutus mata rantai budaya kekerasan di IPDN.
Prof Dr Muhadjir Darwin menilai tuntutan forum untuk membubarkan IPDN adalah tuntutan yang masuk akal. Karena dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 disebutkan hanya Departemen Diknas yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan formal.
“Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan sejenis D3, D4 yang dilakukan Depdagri adalah jenis pendidikan illegal, pendidikan yang melanggar undang-undang,” ujar Prof Muhadjir dalam Diskusi Forum Kebijakan Magister Studi Kebijakan UGM, Jum’at, (13/4).
Menurutnya, kekerasan di IPDN bukan suatu bentuk penyimpangan dari norma atau nilai institusi tersebut, melainkan secara sistemik lembaga tersebut memang memproduksi kultur kekerasan. Jadi tidak tepat jika yang dilakukan hanya sekedar investigasi terhadap siapa yang salah telah menganiaya Cliff dan korban-korban sebelumnya, karena yang lebih bersalah adalah sistim pendidikan di IPDN.
“Saya setuju ungkapan Ryas Rasyid bahwa lembaga tersebut adalah lembaga preman karena menciptakan budaya preman,” katanya, di MSK UGM.
Kultur kekerasan di IPDN, kata Muhadjir, jelas tidak tepat jika tujuan pendidikannya ingin mencetak pegawai negeri atau pamong praja. Pendidikan IPDN semestinya mengedepankan nilai-nilai kepemimpinan yang sejuk, damai, melayani, dan mengayomi masyarakat.
“Selain itu membekali siswa dengan ilmu politik, pemerintahan, dan administrasi public yang up to date, relevan dan membumi,” tandasnya.
Selanjutnya, Muhadjir menjelaskan, bahwa untuk mendapatkan SDM yang berkualitas sekaligus untuk mencetak pegawai negeri, sesungguhnya banyak universitas di Indonesia yang telah lama mengembangkan program pendidikan yang relevan, seperti Administrasi Negara, Politik dan Pemerintahan.
“Heran juga, kenapa pemerintah tidak merekrut lulusan dari pendidikan PT tersebut? Perlu diketahui Presiden Sukarno tahun 1950-an mengirim sejumlah dosen belajar ke Amerika Serikat untuk belajar Ilmu Administrasi Negara, Ilmu Politik dan Pemerintahan dengan maksud agar dapat mengembangkan pendidikan tinggi di universitas yang dapat merespon kebutuhan tenaga kerja yang ahli di bidang administrasi public dan pemerintahan. Jadi untuk apa pemerintah mendukung pendidikan seperti di universitas, jika Depdagri membuat pendidikan sendiri? Mau kemana lulusan AN dan Pemerintah dari universitas? Kami yakin kualitas pendidikan yang ditawarkan universitas jauh lebih baik dibanding dengan IPDN,” harap Guru Besar Fisipol UGM yang menjelaskan pula, bahwa tawaran ini akan menghemat anggaran negara, karena pendidikan di IPDN selama ini tergolong mahal. (Humas UGM).