Kegiatan KKN-PPM pada periode Antar Semester Tahun 2017 diikuti oleh 5.982 mahasiswa dari 18 fakultas dan Sekolah Vokasi yang diterjunkan ke 115 kabupaten di 34 provinsi di Indonesia selama 2 bulan. Melalui kegiatan yang diadakan setiap tahun ini, para mahasiswa dapat menumbuhkembangkan empati dan kepedulian terhadap berbagai permasalahan yang riil dihadapi masyarakat serta mendapatkan pengalaman berbeda dan belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Setidaknya hal inilah yang dirasakan oleh para mahasiswa yang menjalankan program KKN di Desa Dalum, Kecamatan Salibabu, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara.
Talaud adalah kabupaten paling utara di Indonesia yang masih cukup jarang dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Untuk tiba di pulau ini, para mahasiswa harus menempuh perjalanan yang tidak sebentar. Berangkat dari Jogja pada 13 Juni silam, para mahasiswa baru sampai di lokasi KKN pada tanggal 17.
“Dari Jogja ke Surabaya naik bus, Surabaya ke Manado naik pesawat, lalu dari Manado ke Talaud naik kapal dengan durasi 28 jam,” ujar Koordinator Tim KKN Talaud, Furqan, Kamis (13/7).
Dosen Pembimbing Lapangan KKN Talaud, I Made Andi Arsana, Ph.D, mengisahkan pengalamannya ketika mengunjungi para mahasiswa di lokasi KKN Talaud di tengah suasana Ramadhan. Andi menuturkan, Desa Dalum yang menjadi lokasi KKN berpenduduk 100% Nasrani, dengan nyanyian gereja berkumandang dari pengeras suara di hampir setiap rumah. Namun, di tengah daerah yang sangat homogen tersebut, ia mengaku justru merasakan suasana toleransi yang begitu kental. Hal ini, menurutnya, tergambar dari momen-momen yang dikisahkan oleh para mahasiwa yang ia bimbing.
Seorang mahasiswa Fisipol, Fian M. Rofiulhaq, mengisahkan pengalamannya bersama seorang mahasiswa Geografi tinggal di rumah induk semang yang masih muda. Jam tiga pagi di hari kedua, mahasiswa ini terjaga untuk menyiapkan sahur. Ketika dia menuju ke dapur, terdengar suara sedikit gaduh. Ternyata induk semang mereka tengah masak menyiapkan sahur untuk mereka.
“Sebagai anak kos, saya biasanya sahur dengan satu tahu bakso sisa semalam. Tapi di sini, hidangan sahur sangat lengkap dan itu disiapkan oleh induk semang kami yang bahkan tidak menjalankan ibadah puasa. Saya mau nangis rasanya,” kisahnya.
Mahasiswa lain, Azis Musthofa, berkata bahwa ia seperti menemukan kembali momen masa kecilnya yang sempat hilang, yaitu pertemanannya dengan seorang sahabat yang berbeda kepercayaan.
“Kami biasa bermain bola dan ketika waktunya tiba, kami biasa saling antar untuk menjalankan ibadah. Ketika saya salat, teman saya menunggu saya di masjid dengan sabar. Sebaliknya, ketika di beribadah di Gereja, saya akan menunggunya dengan setia sebelum bermain bola. Saya menemukan suasana itu lagi di sini, dengan anak-anak kampung ini. Saya seperti diingatkan tentang sebuah pelajaran penting, dan saya bertekad, saya akan tetap menjaga sikap ini ketika sudah pulang nanti,” ucapnya.
Kepada Andi, satu per satu mahasiswa ini mengatakan bagaimana mereka menyadari bahwa keberadaan mereka di Dalum mengingatkan mereka bahwa Indonesia memang luas dan beragam, dan bagaimana KKN ini membuatnya mencintai Indonesia lebih dari mereka pernah rasakan.
“Saya beruntung ada di sini. Saya ingin mengenal Indonesia lebih baik lagi. Jika Tuhan mengizinkan, saya juga ingin menjelajah dunia untuk menguatkan sikap hidup yang lebih tebuka,” tutur Ridho Ilahi.
Bagi Andi, momen inilah yang dengan tepat menggambarkan keindahan makna toleransi. Ia merasa bersyukur dapat menyaksikan bagaimana para mahasiswa ini sungguh-sungguh bisa menjiwai nilai tersebut.
“Mendengar mereka bercerita dengan semangat dan menjiwai, saya terbawa. Malam itu, saya merasakan perbedaan ketika kosakata seperti Pancasila, toleransi, Bineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD45 diucapkan dengan penuh perasaan. Kosakata itu berjiwa, dan memberi roh pada hastag media sosial yang viral berbunyi #SayaIndonesia atau #SayaPancasila,” ujarnya.
Hal ini, lanjut Andi, mengingatkannya kepada sosok Koesnadi Hardjasoemantri, mantan Rektor UGM, yang pada tahun 1950-an menjadi salah satu mahasiswa KKN (waktu itu bernama Pengerahan Tenaga Mahasiswa) di Kupang. Jika Koesnadi muda ketika itu berhasil menemukan anak desa cemerlang bernama Adrianus Mooy yang kemudian menjadi Gubernur Bank Indonesia, mahasiswa KKN Talaud, menurutnya, telah menemukah setitik wibawa Pancasila dalam wujud toleransi yang menyentuh hati.
“Jika masih ada yang bertanya pada saya untuk apa ber-KKN maka saya dengan mantap bisa katakan, mempertahankan KKN adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah diambil oleh Universitas Gadjah Mada,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)