
Peristiwa penggerebekan PT Indo Beras Unggul (IBU) beberapa waktu yang lalu memunculkan beragam pembicaraan terkait persoalan harga beras, indikasi praktik monopoli, termasuk kebijakan pemerintah dalam mengatur tata niaga beras. Terlepas dari tuduhan yang ditujukan terhadap perusahaan tersebut, menurut beberapa pakar pertanian UGM, kebijakan pemerintah dalam mengatur harga beras termasuk penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) sendiri masih kurang tepat.
“HET sebesar Rp9.000/kg itu terlalu rendah. Ini justru tidak akan mendorong swasta untuk menghasilkan beras-beras yang berkualitas bagus. Pemerintah harus merevisi Permendag tentang beras,” ujar Dekan Fakultas Pertanian UGM, Dr. Jamhari, S.P., M.P., dalam konferensi pers yang berlangsung Kamis (27/7) di Ruang Multimedia Fakultas Pertanian.
Jamhari menyebutkan, persoalan yang timbul saat ini sebenarnya merupakan efek dari perubahan kebijakan sangat fundamental yang diambil oleh pemerintah setelah Badan Urusan Logistik (Bulog) diubah dari departemen menjadi badan usaha. Perubahan ini, menurutnya, membuat kebijakan stabilisasi harga beras menjadi lebih longgar dan memperbesar deviasi.
Selain itu, ia juga memaparkan beberapa kesalahan yang masih ditemukan di lapangan terkait pelaksanaan Permentan no. 5 tahun 2015 yang mengatur Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras Rp7.300/kg di tingkat petani serta Permendag No. 47 tahun 2017 yang menetapkan HET sebesar Rp9.000/kg di tingkat konsumen.
Analisis yang ia lakukan terhadap data dari titik pemantauan di seluruh kabupaten di Indonesia menyebutkan bahwa masih ada kasus di 8% titik pemantauan dengan harga beras medium masih di bawah HPP. Selain itu, harga eceran rata-rata beras medium di pasar tradisional saat ini bahkan sudah melebihi HET, yaitu sebesar Rp9.500/kg, sedangkan harga eceran rata-rata beras premium mencapai Rp11.500/kg.
“Dari poin tersebut dapat diketahui masih terjadi kesalahan harga, baik di tingkat petani maupun konsumen. Perlu diinvestigasi apakah HPP dan HET-nya terlalu rendah atau perilaku pedagang yang monopolistik,” imbuh Jamhari.
Di tengah polemik ini, ia mengingatkan masyarakat dan khususnya pemerintah, agar tidak gegabah dalam menentukan langkah selanjutnya dalam mengatasi persoalan harga beras. Ia menekankan bahwa solusi untuk masalah ini harus dipikirkan secara cermat, tidak langsung memunculkan solusi instan seperti mengimpor beras.
“Ada banyak pihak berkepentingan dengan kasus ini, termasuk yang mau impor beras. Jadi harus cermat, jangan terbawa oleh ekonom neolib yang tahunya hanya impor tapi tidak tahu terobosan atau potensi peningkatan produksi sendiri,” katanya.
Jamhari menambahkan, solusi yang harus diambil dalam waktu dekat adalah adopsi teknologi baru serta penguatan kelembagaan untuk meningkatkan kualitas produksi beras nasional. Sementara itu, pakar Ekonomi Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Masyhuri, memberikan rekomendasi lain, yaitu penghapusan penerapan HET untuk beras kualitas premium.
“Harusnya pemerintah tidak mengatur harga beras kualitas tinggi. Serahkan kepada mekanisme pasar. Kalau industri membuat kualitas tertentu dan konsumen mau bayar ya silahkan, toh konsumen miskin sudah dilindungi dengan beras rastra dan e-voucher,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini, ia juga meluruskan beberapa kekeliruan yang muncul terkait polemik ini. Ia menyebutkan, beras yang digerebeg beberapa waktu lalu bukanlah beras subsidi, tetapi beras yang dibeli dari petani. Terkait harga jual yang melebihi HET, menurutnya adalah hal yang wajar jika dibandingkan dengan harga belinya, dan perlakuan ini pun banyak ditemukan di pasar modern.
“Hampir semua pasar modern menjual di atas HET, kenapa yang ditangkap hanya satu. Itu kan menunjukkan bahwa tidak fair. Kalau mau fair ya ditangkap semua,” ucapnya. (Humas UGM/Gloria)