Kemajuan ilmu pengetahuan senantiasa menghasilkan dampak-dampak yang memicu perdebatan tentang masalah etika, baik yang bersifat umum maupun etika yang berbasis agama. Salah satunya tentang kemajuan bidang ilmu kedokteran dalam penerapan teknologi transplantasi organ, donor organ bahkan donor organ binatang yang ditransplantasikan ke tubuh manusia. Di sisi lain, pegangan etis-teologis seringkali sangat diperlukan sebelum tindakan medis dilakukan.
Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada menggelar dialog yang bertajuk Moral, Hukum dan Kemanusiaan tentang Donasi Tubuh dan Donor Organ, Rabu (2/8), di Ruang Senat FK UGM. Diskusi yang melibatkan pakar dan tokoh agama ini mendiskusikan berbagai pendapat dari masing-masing sudut pandang agama tentang tindakan mendonasikan tubuh dan organ pada pasien dalam medis.
Guru Besar bidang studi Islam dari George Mason University, Amerika Serikat, Prof. Abdulaziz Sachedina, mengatakan bahwa dalam tradisi Islam telah mengatur soal sumbangan organ asalkan tidak mengarah pada komersialisasi bagian tubuh dan tubuh manusia tidak diperlakukan hanya sebagai komoditas. “Tubuh manusia tidak bisa diganggu gugat dan memiliki martabat tersendiri sebagai bagian dari penciptaan Tuhan,” ujarnya.
Menurutnya, penting bagi umat muslim untuk menjaga tujuan penciptaan Ilahi saat merumuskan penggunaan organ yang bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan transplantasi organ, baik yang berasal dari donor hidup atau mati. “Di sejumlah undang-undang negara-negara muslim telah diberlakukan untuk melindungi martabat orang mati dan hak-hak keluarga dekat untuk memiliki akses penuh terhadap bagaimana mayat-mayat tersebut dirawat dalam situasi postmortem. Pada saat yang sama, cukup jelas umat muslim menganggap tubuh mereka milik Tuhan,” ujarnya.
Dalam pandangan teologis agama Kristen Protestan, pendeta Wahju S Wibowo, Ph.D. mengatakan transplantasi dan donor organ penting dilakukan untuk tujuan pengobatan sebagai bagian dari peningkatan kualitas hidup seseorang. “Tindakan ini membawa gema kekristenan mengenai kasih,” ujarnya.
Namun demikian, yang perlu dipertimbangkan adalah status kehidupan bagi donor organ yang meninggal. Secara etis donor organ meninggal baru benar-benar bisa dilakukan apabila pendonor sudah meninggal dunia sehingga menjadi amat penting secara etis. “Hal itu juga berlaku bagi donor tubuh untuk tujuan pendidikan,” paparnya.
Pandangan agama Hindu, menurut Prof Nyoman Kertia, didasari pandangan umat Hindu mengenai panca srada, yakni percaya adanya atman (sinar suci Tuhan), percaya adanya hukum karma, percaya adanya punarbawa (kelahiran kembali), serta percaya adanya moksa (bersatu kembali dengan Tuhan dengan tidak dilahirkan kembali).
Dengan begitu, donasi organ harus bersifat satvika atau bertujuan mulia, harus membawa manfaat bagi donor dan penerima donor. “Manfaat akan didapatkan sepanjang keputusan dibuat dengan pengetahuan dan persetujuan dari pendonor, penerima donor dan keluarganya,” paparnya.
Sementara dalam pandangan agama Buddha, kata Biku Dr. Jotidhammo Mahathera, tidak ada nilai moral yang dilanggar dalam donasi tubuh dan organ karena hal itu merupakan praktik nyata ajaran Buddha. Bahkan, umat Buddha Sri Langka merupakan pendonor Kornea mata terbanyak di dunia dan 57 negara menjadi tempat tujuan donor kornea mata. “Umat Buddha meyakini bahwa jika ia mendonasikan mata pada kehidupan saat ini maka akan memiliki penglihatan yang lebih baik dalam kehidupan yang akan datang,” ungkapnya.
Dalam pandangan Gereja Katolik, kata Aloysius Purwa Hadiwardoyo, donasi organ tubuh dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak bermoral apabila donasi itu dilakukan dengan cara tidak berprikemanusiaan, apalagi dilakukan berdasarkan prinsip jual beli dengan mengenakan tarif yang fantastis. “Orang boleh merelakan organ tubuhnya untuk menolong orang lain asal tidak membahayakan hidup dan kepribadian sendiri harus dilakukan dengan semangat solidaritas,” katanya.
Sedangkan dalam perspektif hukum, menurut praktisi hukum Bimas Ariyanta, belum diatur lebih jauh tentang transplantasi dan donor organ. Namun, sesuai UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan tindakan memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dilarang dengan dalih apapun. Bahkan, dalam peraturan pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis dan transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia hanya disebutkan tentang tata cata melakukan transplantasi yaitu hanya dengan mendapat persetujaun pasien atau dari keluarga.
“Aturan PP itu hanya mengatur tindak pidana dan tata cara tranplantasi organ atau jaringan manusia hanya sebagai aturan yang melibatkan donor mati atau donor jenazah,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)