Jagung merupakan salah satu komoditas utama masyarakat petani Dusun Gunung Rambut, Desa Pitu, Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Usai dipanen, para petani menjual hasil panen dalam bentuk jagung kupas atau biji-biji jagung yang telah dipipil, sementara kulit jagung umumnya hanya dimanfaatkan sebagai makanan hewan ternak atau dibiarkan di belakang rumah dan dibakar. Hal ini mendorong mahasiswa KKN UGM di desa tersebut untuk memberikan pelatihan pemanfaatan limbah jagung menjadi produk kerajinan tangan yang lebih memiliki nilai jual.
Peningkatan nilai guna kulit jagung atau yang biasa disebut dengan klobot tersebut dilakukan oleh mahasiswa KKN-PPM UGM Sub Unit Gunung Rambut, Unit 03 Desa Pitu di bawah bimbingan dosen pembimbing lapangan (DPL), Atus Syahbudin, S.Hut., M.Agr., Ph.D. Usai melakukan beberapa diskusi, kajian referensi, pengalaman, dan percobaan, mereka menginisiasi program pemanfaatan limbah kulit jagung untuk pembuatan kerajinan tangan bunga klobot dengan menyasar ibu-ibu, khususnya perkumpulan ibu-ibu yasinan dan arisan.
Salah satu mahasiswa, Laila Hidayati Ikromi, memaparkan bahwa proses pembuatan bunga klobot bermula dari mengumpulkan dan memilah kulit jagung. Kulit jagung yang dipilih, ujarnya, adalah kulit jagung hasil pengupasan manual karena kulit jagung yang dikupas oleh mesin bentuknya telah hancur sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk membuat bunga.
“Proses selanjutnya adalah pemberian warna kulit jagung. Kulit jagung saat direbus dapat diwarnai dengan menggunakan wenter atau pewarna tekstil. Setelah itu, kulit jagung didinginkan dan dikeringkan hingga sekitar 75 persen,” jelas mahasiswa Fakultas Psikologi ini.
Laila menambahkan, kulit jagung perlu disetrika agar diperoleh bentuk permukaan yang lurus, tidak melengkung atau bergelombang sehingga mudah dibentuk. Kemudian, langkah yang dikerjakan selanjutnya adalah membuat bagian-bagian bunga seperti mahkota bunga dan putik atau benang sari, dengan memakai gunting, kemudian merangkai bagian-bagian bunga menjadi satu dengan kawat.
“Untuk merangkai mahkota bunga dan putik atau benang sari perlu keterampilan, ketelatenan, kehati-hatian, dan kesabaran sehingga bisa menghasilkan bunga yang indah dan cantik,” ujar Laila.
Selain bagian bunga, pembuatan daun juga memanfaatkan kulit jagung, sementara untuk tangkai bunga, para mahasiswa memanfaatkan tanaman perdu yang telah kering yang banyak didapatkan dari hutan di sekitar Dusun Gunung Rambut. Sama seperti limbah kulit jagung, tanaman perdu yang oleh warga setempat biasa disebut wedhusan ini biasanya memang tidak dimanfaatkan.
Meski mendapat sambutan yang baik dari warga desa, Laila mengaku masih menemui berbagai kendala dalam mengembangkan potensi pemanfaatan limbah kulit jagung ini karena belum banyak warga yang terlibat dalam mengikuti pelatihan yang diberikan.
“Sulit menentukan waktu untuk membuat jadwal dengan ibu-ibu karena kesibukan yang berbeda-beda, terlebih kebanyakan masyarakat bekerja di ladang dari pagi hingga sore hari. Di samping itu, juga belum ada kesediaan ibu-ibu dalam menekuni pekerjaan membuat kerajinan tangan,” ujarnya.
Ia menuturkan, produk ini sendiri sudah sempat dipamerkan dalam acara pesta rakyat Desa Pitu pada 29 Juli silam, dan dalam waktu ke depan perlu dilakukan perencanaan harga serta analisis pasar untuk lebih mematangkan program yang telah mereka inisiasi ini.
“Saya berharap semoga program ini dapat berlanjut dan menjadi usaha kecil masyarakat sehingga pendapatan masyarakat Gunung Rambut dapat bertambah melalui pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia di sekitar dusun,” pungkas Laila. (Humas UGM/Gloria)