Sekolah Pascasarjana UGM selama 3 hari, 9-11 Agustus 2017 menjadi tuan rumah penyelenggaraan Forum pimpinan Pascasarjana (FORPIMPAS) se-Indonesia. Bersamaan dengan itu, digelar pula The 9th International Graduate Students and Scholars Conference in Indonesia (IGSSCI) bertema “Sustaining The Planet: Call For Interdisciplinary Approaches And Engagement”.
Dr. Rr. Paramitha Dyah Fitriasari selaku Wakil Ketua Panitia mengatakan FORPIMPAS merupakan kegiatan tahunan bagi pimpinan pascasarjana se-Indonesia. Forpimpas ke-39 yang berlangsung di UGM tahun 2017 ini para pimpinan mendiskusikan berbagai kebijakan atau strategi untuk pengembangan pascasarjana PTN.
“Para pimpinan melakukan sharing pengalaman dalam pengelolaan kegiatan-kegiatan pascasarjana, baik yang bersifat akademik maupun non-akademik untuk penyelenggaraan program pascasarjana yang berkualitas dan berdaya saing,” katanya, di Grha Sabha Pramana, Bulaksumur, Rabu (9/8).
Secara khusus, kata Paramitha, rapat kerja nasional para pimpinan pascasarjana membahas penguatan tata kelola kelembagaan, peningkatan sinergi pascasarjana, peluang kerja sama institusi, peningkatan mutu pengelolaan program pascasarjana dan publikasi ilmiah. Selain itu, munculnya banyak program studi serupa maka perlu dilakukan elaborasi dan peningkatan kerja sama.
“Meski mirip, namun masing-masing perguruan tinggi memiliki ciri khas masing-masing sehingga diharapkan bisa saling bersinergi terhadap kebaruan keilmuan di Indonesia. Terlebih pada publikasi yang sedang giat-giatnya digencarkan Kemenristekdikti,” ujar Paramitha.
FORPIMNAS dan IGSSCI dihadiri sekitar 350 peserta para pengelola pascasarjana perguruan tinggi se-Indonesia. Dua kegiatan yang dibuka Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng, menghadirkan sejumlah pembicara, diantaranya Prof. ir. Rachmat Witoelar, Dr. Hezri Adnan (Malaysia), Dr. Ir. Surono dan Prof. dr. Ali Ghufron Mukti., M.Sc., Ph.D.
Rachmat Witoelar yang berbicara soal Ilmu lingkungan dan Kebijakan menuju Pembangunan Berkelanjutan mengatakan tidak ada seorang pun mampu menolak terjadinya perubahan iklim akibat pembangunan. Oleh karena itu, yang terpenting adalah melakukan aksi nyata yang segera dikerjakan untuk melawan perubahan iklim. Beberapa langkah yang bisa diambil, diantaranya dengan menjaga kestabilan akibat gas rumah kaca dari pengaruh anthropogenic. Selain itu, terus menjaga dan mengatur kenaikan suhu global dibawah 2 derajat dan upaya membatasi kenaikan suhu sampai 1,5 derajat.
“Di tahun 2030, agendanya adalah melindungi bumi dari degradasi dengan melakukan sejumlah tindakan segera diantaranya menjawab soal perubahan iklim,” kata Rachmat Witoelar Utusan Khusus Presiden Indonesia untuk Perubahan Iklim. (Humas UGM/ Agung)